Apa yang tidak membunuhmu, membuatmu lemah.
Ditranslasikan oleh Hamza.
Sumber: What doesn't kill you, makes you weaker.
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman, berkata seperti ini: "Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita kuat". Gagasan ini terus hidup tidak seperti sang penciptanya sendiri--yang ironis karena hidupnya yang pendek dan menderita--dan terus bergema ke budaya-budaya lain.
Alasannya adalah karena penderitaan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam hidup kita, sehingga kita mencoba berbagai cara untuk meringankannya. Salah satunya dengan melimpahkan ke sesuatu yang dapat membuatmu melupakannya, contohnya dengan mempercayai adanya afterlife dan kokain.
Alasan lain adalah budaya-budaya yang terlahir dari trauma dan ber-mindset can-do menganggap ini hanyalah membombong saja. Begitu kita memperoleh keyakinan tertentu, kita cenderung melihat, mengingat, dan memberitahu suatu kejadian dan apapun yang mendukungnya. Itu yang dinamakan sebagai confirmation bias.
Kita mungkin pernah berpikir bahwa trauma adalah suatu proses transformatif karena kita melihat proses yang terjadi di sekitar kita sehari-hari. Bakteri yang tidak terbunuh oleh antibiotik akan bermutasi dan menjadi kebal. Orang yang pernah melalui latihan keras cenderung menjadi lebih kuat. Tetapi manusia bukan bakteri dan latihan yang bagus bukanlah sesuatu yang traumatik.
Sekarang itu benar bahwa, dalam konteks evolusi, mereka yang berhasil bertahan hidup dari bencana adalah yang paling kuat. Tetapi bukanlah bencana yang membuat mereka kuat. Bagi otak kita, terdapat garis tipis antara melihat lahirnya orang-orang kuat karena bencana dan menyimpulkan bahwa mereka kuat karena tertimpa bencana.
Otak kita adalah sebuah mesin pencipta makna, dirancang untuk menyortir informasi sensoris secara luas dan bervariasi ke dalam persepsi yang teratur dan koheren dan diorganisir dalam bentuk narasi: sesuatu yang terjadi, yang menyebabkan sesuatu, dan yang berakhir demikian. Ketika dua hal terjadi bersamaan, kita berasumsi bahwa mereka berhubungan dan kemudian kita langsung mengikat mereka dalam ikatan sebab-akibat.
Hasrat kita untuk mengurangi rasa sakit karena penderitaan dengan merasionalisasinya, seiring dengan kecenderungan untuk mencari informasi yang mendukung keyakinannya, melihat makna dan kasualitas dalam suatu kebetulan, semuanya menjelaskan bagaimana kita sampai pada keyakinan akan pengalaman menyakitkan yang mengajarkan tentang kehidupan.
Malapetaka tidak membuatmu kuat dan itu tidak menyiapkanmu dengan baik dalam menghadapi teror di dunia ini. Cinta dan perhatian adalah yang membuatmu kuat, kedua hal tersebut memperkuat kemampuanmu untuk belajar dan beradaptasi, termasuk mengajarimu untuk berjuang dan beradaptasi menghadapi kesulitan di masa depan.
Sumber: What doesn't kill you, makes you weaker.
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman, berkata seperti ini: "Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita kuat". Gagasan ini terus hidup tidak seperti sang penciptanya sendiri--yang ironis karena hidupnya yang pendek dan menderita--dan terus bergema ke budaya-budaya lain.
Alasannya adalah karena penderitaan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam hidup kita, sehingga kita mencoba berbagai cara untuk meringankannya. Salah satunya dengan melimpahkan ke sesuatu yang dapat membuatmu melupakannya, contohnya dengan mempercayai adanya afterlife dan kokain.
Alasan lain adalah budaya-budaya yang terlahir dari trauma dan ber-mindset can-do menganggap ini hanyalah membombong saja. Begitu kita memperoleh keyakinan tertentu, kita cenderung melihat, mengingat, dan memberitahu suatu kejadian dan apapun yang mendukungnya. Itu yang dinamakan sebagai confirmation bias.
Kita mungkin pernah berpikir bahwa trauma adalah suatu proses transformatif karena kita melihat proses yang terjadi di sekitar kita sehari-hari. Bakteri yang tidak terbunuh oleh antibiotik akan bermutasi dan menjadi kebal. Orang yang pernah melalui latihan keras cenderung menjadi lebih kuat. Tetapi manusia bukan bakteri dan latihan yang bagus bukanlah sesuatu yang traumatik.
Sekarang itu benar bahwa, dalam konteks evolusi, mereka yang berhasil bertahan hidup dari bencana adalah yang paling kuat. Tetapi bukanlah bencana yang membuat mereka kuat. Bagi otak kita, terdapat garis tipis antara melihat lahirnya orang-orang kuat karena bencana dan menyimpulkan bahwa mereka kuat karena tertimpa bencana.
Otak kita adalah sebuah mesin pencipta makna, dirancang untuk menyortir informasi sensoris secara luas dan bervariasi ke dalam persepsi yang teratur dan koheren dan diorganisir dalam bentuk narasi: sesuatu yang terjadi, yang menyebabkan sesuatu, dan yang berakhir demikian. Ketika dua hal terjadi bersamaan, kita berasumsi bahwa mereka berhubungan dan kemudian kita langsung mengikat mereka dalam ikatan sebab-akibat.
Hasrat kita untuk mengurangi rasa sakit karena penderitaan dengan merasionalisasinya, seiring dengan kecenderungan untuk mencari informasi yang mendukung keyakinannya, melihat makna dan kasualitas dalam suatu kebetulan, semuanya menjelaskan bagaimana kita sampai pada keyakinan akan pengalaman menyakitkan yang mengajarkan tentang kehidupan.
Malapetaka tidak membuatmu kuat dan itu tidak menyiapkanmu dengan baik dalam menghadapi teror di dunia ini. Cinta dan perhatian adalah yang membuatmu kuat, kedua hal tersebut memperkuat kemampuanmu untuk belajar dan beradaptasi, termasuk mengajarimu untuk berjuang dan beradaptasi menghadapi kesulitan di masa depan.