Penjelajah cilik: Bagaimana kita mengetahui apa saja yang aman untuk dimakan?

Ditranslasikan oleh: Hamza.
Judul asli: Tiny Foragers: How Do We Know What’s Safe to Eat?
Sumber: Huffington Post.

Sekarang adalah musimnya liburan, dan kita pasti akan mendekorasi rumah dengan yang hijau-hijau seperti holly sprigs, poinsettia, atau mungkin mistletoe, dan tentu saja tanaman-tanaman lainnya, contohnya cemara. Akan ada banyak anak-anak kecil bermain di luar dan tanaman-tanaman ini tidak berbahaya. Tetapi beberapa dari tanaman ini beracun, bahkan mematikan, jika dimakan. Sehingga apa yang kita lakukan adalah, pada dasarnya, menciptakan dunia berbahaya bagi generasi-generasi muda yang siap mengeksplorasinya.

Sebenarnya adalah menciptakan ulang. Rumah kita akan menjadi mikrokosmos dari dunia kuno di mana leluhur kita hidup dan mati. Sepanjang sejarah evolusioner, manusia memetik dan mengumpulkan dedaunan dan buah-buahan untuk dimakan. Mereka melakukannya dengan pengetahuan minim dalam menentukan pilihannya. Tanaman yang beracun tidak tampak dari warna, bentuk, atau pun teksturnya, jadi mencari makan pada jaman dahulu merupakan permainan tebak-tebakan dengan harga yang sangat mahal. Bagaimana para leluhur kita mengetahuinya? Apa yang dapat dimakan dan apa yang tidak dapat dimakan? Dan bagaimana anak-anak kita sekarang dapat melakukannya?

Ilmuwan psikologis dari Yale, Annie Wertz bertanya-tanya apakah jika manusia kuno dengan anak-anak modern mungkin berbagi semacam mekanisme kognitif dalam membuat penilaian akan hal itu. Mungkin anak-anak sekarang mewarisi "peraturan-peraturan" khusus yang memungkinkan mereka untuk meminimalisir resiko dalam memilih vegetasi yang berbahaya. Wertz dan kawannya di Yale, Karen Wynn, menduga bahwa anak-anak kecil mempelajari tanaman dari memperhatikan sekitarnya dalam dunia sosial mereka - contohnya seperti orang tua mereka. Tetapi bukan semata imitasi dari orang dewasa, mereka juga menentukan sendiri untuk bereksplorasi sebagaimana mestinya anak kecil mempelajari keahlian yang crucial ini.

Mereka merekrut sekelompok anak berusia 18 bulan sebagai percobaan. Mereka ingin mempelajari bagaimana anak-anak membedakan tanaman yang dapat dimakan atau yang beracun, tetapi pertama mereka ingin mengetahui apakah anak-anak mengidentifikasi tanaman secara umum yang dapat dimakan - dibandingkan dengan mainan, contohnya. Untuk melakukan ini, mereka membuat tanaman dengan dedaunan dan ranting artifisial dan menaruhnya di pot. Mereka juga membuat artifak yang juga terbuat dari dedaunan dan ranting, tetapi dicat dengan warna silver dan ditempatkan dalam silinder kaca. Maksudnya adalah supaya artifak tersebut menyerupai tanaman dalam bentuk dan tekstur, tetapi tidak terlihat seperti tanaman. Keduanya memiliki buah-buahan kering menggantung.

Untuk mensimulasikan lingkungan belajar sosial, sang eksperimenter memetik buah dari kedua tanaman tersebut dan memakannya, kemudian mengucapkan "Hmmm." Beberapa dari anak-anak ini memperhatikannya dan anak yang lain melihatnya memetik buah dari kedua tanaman baik yang asli mau pun buatan. Ini merupakan strategi yang teruji untuk menandakan mana yang makanan dan mana yang bukan. Setelah percobaan ini, mereka bertanya kepada anak-anak tersebut mengenai buah-buahan tersebut, menunjuk pada makanan: yang mana yang dapat dimakan? Dan menunjuk kepada yang bukan makanan: Mana yang dapat digunakan?

Hasilnya sama persis seperti apa yang mereka bayangkan. Anak-anak tersebut lebih memilih buah dari tanaman sebagai makanan, meskipun anak-anak tersebut melihat mereka memakan buahnya baik dari tanaman maupun dari artifak tersebut. Meskipun mereka mempunyai informasi yang sama mengenai kedua buahnya, tetapi mereka lebih memilih yang dipetik dari tanaman asli. Ini artinya mereka biasanya tidak lebih memilih tanaman asli dibanding yang buatan. Mereka melakukannya ketika hanya akan memakannya.

Jadi, apakah semua anak melihat semua tanaman sebagai sumber potensial makanan? Sepertinya tidak karena banyaknya jenis tanaman yang beracun dan tak enak rasanya. Lalu dari mana anak-anak mendapatkan petunjuk bahwa tanaman yang ini atau yang itu aman untuk dimakan? Jika mereka memang memperhatikan orang dewasa untuk mendapatkan isyarat apa yang harus dilakukan, dan kemudian hilang isyarat tersebut, maka mereka harus tetap berhati-hati pada makanan yang berasal dari tanaman. Ini apa yang diuji oleh para ilmuwan pada eksperimen berikutnya.

Percobaan ini identik dengan yang sebelumnya. tetapi anak-anak tersebut hanya memperhatikan para pelaku eksperimen yang melihat ke tanaman, kemudian melihat ke artifak. Semua dilakukan tanpa memetik buahnya dan mengucapkan "Hmmm". Kemudian mereka menawarkan buah dari pohon dan artifak ke anak-anak dan bertanya: Mana yang bisa dimakan?

Kali ini anak-anak tersebut memilih secara acak, memberikan kesan, bahwa mereka tidak dapat mengidentifikasikannya sebagai sumber makanan. Seperti yang dilaporkan di artikel yang akan datang pada jurnal Psychological Science, informasi diambil dari melihat orang dewasa adalah krusial terhadap pengambilan keputusan bagi anak-anak. Dalam eksperimen terakhir, ilmuwan menunjukkan bahwa anak-anak di bawah usia 6 bulan menggunakan informasi sosial dari orang dewasa untuk membantunya mengidentifikasi tanaman yang aman sebagai sumber makanan.

Jadi anak yang masih sangat muda lebih cenderung mengidentifikasi tanaman sebagai sumber makanan yang aman, tetapi hanya jika orang dewasa menandakannya bahwa itu aman. Prinsip utamanya adalah perlindungan, tetapi juga cukup fleksibel untuk perbedaan kebudayaan dan individual. Dan ini juga tidak kaku untuk menjaga anak-anak yang sedang dalam masanya mengekplorasi tempat-tempat berbahaya.