Bagaimana Metode Baru Pembelajaran Radikal Dapat Menghasilkan Generasi Para Jenius.
Sekolah Dasar Jose Urbina Lopez yang berada tepat di samping tumpukan sampah di seluruh perbatasan Amerika di Meksiko. Sekolah yang disediakan untuk para penduduk Matamoros, kota berdebu yang terjemur oleh sinar Matahari yang dihuni oleh 489.000 jiwa yang merupakan pusat perang narkoba. Setiap harinya selalu ada penembakan, jadi tidak aneh jika terdapat mayat manusia di jalan setiap paginya. Untuk mencapai ke sekolah, para murid harus berjalan menyusuri jalan bertanah yang sejajar dengan kanal yang memancarkan bau tak sedap. Pada suatu pagi, terdapat traktor yang sepertinya dari era tahun 1940, sebuah perahu yang rusak di dalan selokan, dan kawanan kambing yang sedang merumpun. Hanya sebuah pagar batako yang memisahkan sekolah dari tanah itu—yang di ujungnya terdapat gunung sampah yang sangat besar, sampai akhirnya ditutup. Setiap harinya, aroma busuk selalu menghampiri ruang kelas yang bertembok semen itu. Beberapa orang di sini memanggilnya sebagai Un Lugar de Castigo—"sebuah tempat hukuman".
Untuk seorang gadis kecil berumur 12 tahun bernama Paloma Noyola Bueno, tempat itu merupakan tempat yang cerah baginya. Lebih dari 25 tahun yang lalu, keluarganya pindah dari ibu kota menuju perbatasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tetapi, mereka malah terjebak dan hidup dikelilingi oleh sampah. Ayahnya setiap hari menghabiskan waktunya memulung sampah, menggali untuk mencari potongan alumunium, beling, atau plastik dalam kotoran. Akhir-akhir ini, ia mengalami hidung berdarah, tetapi ia tak mau mengkhawatirkan Paloma. Ia adalah malaikat kecilnya—yang terkecil dari delapan bersaudara.
Setelah jam sekolah usai, Paloma pulang menuju rumah dan duduk bersama Ayahnya pada ruangan utama rumahnya. Ayahnya adalah seorang lelaki kurus yang selalu mengenakan topi koboy. Paloma juga sering menceritakan kesehariannya di sekolah—dalam seragam putih birunya—dan mencoba untuk menghiburnya. Rambut Paloma yang berwarna hitam dan panjang, dan dahinya yang lebar, serta cara bicaranya yang teratur dan bijaksana. Sekolah tidak pernah lebih menantang baginya. Ia duduk dalam barisan bersama murid yang lainnya, ketika sang guru menjelaskan apa yang harus mereka ketahui. Tidaklah terlalu susah baginya untuk mengulang, dan ia dapat meraih nilai bagus tanpa harus berpikir keras. Ketika ia mulai naik kelas lima, dia beranggapan bahwa dia akan berada di sana untuk keadaan yang sama—membaca, menghafal, dan keseharian yang sibuk.
Sergio Juarez Correa terbiasa mengajar kelas yang seperti itu. Selama lima tahun ia telah berdiri di depan kelas, mengajarkan kepada anak muridnya kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sangat membosankan baginya dan murid-muridnya, dan pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa itu hanyalah buang-buang waktu saja. Nilai ujian yang jelek, dan bahkan murid yang belajar dengan baik pun tidak menggunakannya dengan baik. Sesuatu harus berubah.
Dia juga dulu tumbuh besar di samping tumpukan sampah di Matamoros, dan ia telah menjadi guru yang membantu anak muridnya mempelajari sesuatu untuk membuat sesuatu yang lebih untuk hidup mereka. Pada tahun 2011—ketika Paloma memasuki kelasnya—Juarrez Correa mulai bereksperimen. Ia mulai membaca buku-buku dan mencari ide secara online. Dan kemudian, secara kebetulan, ia menemukan sebuah video yang menjelaskan karya Sugatra Mitra, seorang profesor dari pendidikan teknologi di Universitas Newcastle di Inggris. Pada akhir tahun 1990 dan selama tahun 2000, Mitra mengadakan eksperimen dengan memberikan akses komputer kepada anak-anak di India. Tanpa instruksi, mereka mampu belajar berbagai hal sendiri, dari replika DNA sampai bahasa Inggris.
Juarrez belum mengetahuinya, tetapi ia telah menerapkan salah satu filosofi pendidikan, yaitu dengan menerapkan logika zaman digital di ruangan kelasnya. Logika tak terkalahkan; Dengan mengakses dunia dengan informasi tidak terbatas telah mengubah cara kita berkomunikasi, memproses informasi, dan cara berpikir. Sistem desentralisasi terbukti lebih produktif dan cerdas. Inovasi, kreativitas, dan berpikir bebas telah meningkat secara drastis kepada ekonomi global.
Namun, model pendidikan publik yang dominan tetap berakar pada perputaran industri yang melahirkannya, ketika tempat kerja menilai ketetapan waktu, keteraturan, perhatian, dan ketenangan di atas semanya. Kami tidak secara terbuka mengakui nilai-nilai itu sekarang, tetapi sistem pendidikan kami—yang secara rutin menguji kemampuan anak-anak untuk mengingat kembali informasi dan mendemonstrasikan kemampuan-kemampuan yang terbatas—melihat bahwa murid hanya sebagai material untuk diproses, diprogram, dan diuji kualitasnya. Pengurus sekolah yang telah menyiapkan standar kurikulum dan panduan yang menyuruh para guru apa yang harus diajarkan setiap harinya. Dan terdapat banyak manajer yang mengawasi semuanya yang terjadi di ruang kelas; pada tahun 2010 hanya 50% dari staff sekolah publik yang menjadi guru.
Dan hasilnya berbicara; ratusan dari ribuan anak yang drop-out dari sekolah tinggi publik setiap tahunnya. Mereka yang lulus dari sekolah tinggi, hampir semua "tidak siap secara akademik pada tahun pertama kuliah", menurut laporan layanan ujian ACT pada tahun 2013. Forum Ekonomi Dunia menempatkan Amerika Serikat pada urutan ke 48 dari 149 negara yang mengembangkan kualitas dalam matematika dan intruksi sains. "Basis fundamental sistem ini sangat cacat," Kata Linda Darling-Hammond, seorang profesor pendidikan di Stanford dan direktur pendiri dari National Commission on Teaching and America's Future. "Pada tahun 1970, tiga kemampuan yang dibutuhkan untuk menuju kemakmuran adalah: membaca, menulis, dan matematika. Pada tahun 1999 tiga kemampuan utama yang dituntut adalah kerja sama, pemecahan masalah, dan kemampuan interpersonal. Kita membutuhkan sekolah yang mengembangkan tiga kemampuan itu."
Itulah mengapa kita membutuhkan pengajar-pengajar jenis baru, yang terinspirasi dari internet sampai psikologi evolusioner, neuroscience, dan AI, yang mengembangkan banyak cara dasar untuk anak belajar, bertumbuh, dan berkembang. Bagi mereka, pendidikan bukanlah komoditas yang dikirimkan oleh guru untuk murid, tetapi sesuatu yang muncul dari penjelajahan rasa ingin tahu sang murid. Guru hanya menyediakan saran-saran, bukan jawaban, dan kemudian mereka menyingkir sehingga murid dapat belajar sendiri. Mereka menciptakan cara kreatif untuk anak-anak dalam mencari minatnya dan membuka generasi-generasi jenius dalam prosesnya.
Di rumahnya, di Matamoros, Juarez Correa menemukan dirinya tertarik dengan ide-ide ini. Dan ketika ia mempelajarinya lebih dalam, ia menjadi lebih tertarik lagi. Pada bulan Agustus, tahun 2011—awal sekolah tahunan—ia berjalan ke dalam ruangan kelasnya dan menarik meja-meja kayu menjadi sebuah kelompok kecil. Ketika Paloma dan murid lain masuk kelas, mereka terlihat bingung. Juarez Correa meminta mereka untuk duduk dan ia duduk bersama mereka.
Ia mulai dengan menceritakan bahwa ada seorang anak di belahan Bumi lain yang dapat mengingat pi sampai ratusan angka desimal. Mereka dapat menulis simfoni dan merakit robot dan pesawat. Mayoritas orang tidak akan berpikir bahwa murid-murid di José Urbina López dapat melakukan hal-hal itu. Anak-anak yang tepat berada di seberang perbatasan Brownsville, Texas, memiliki laptop, koneksi internet berkecepatan tinggi, les. Sementara di Matamoros, murid-muridnya mempunyai listrik yang putus nyambung, komputer yang sedikit, internet yang terbatas, dan terkadang tak cukup mempunyai makanan untuk dimakan.
“But you do have one thing that makes you the equal of any kid in the world,” kata Juárez Correa. “Potential.”
Dan dia melihat sekitar ruangan kelas, "Dan mulai sekarang," ia berkata kepada murid-muridnya, "Kita akan menggunakan potensi itu untuk membuatmu sebagai murid terbaik di dunia."
Paloma terdiam, menunggu untuk disuruh. Ia tidak menyadarinya sampai sembilan bulan kedepan, pengalaman sekolahnya akan ditulis ulang, memanfaatkan semua inovasi pendidikan dari seluruh dunia dan membantunya dan teman sekelasnya menjadi peringkat teratas dalam matematika dan bahasa di Mexico.
"Jadi?" kata Juarrez Correa. "Apa yang mau kalian pelajari?"
Pada tahun 1999, Sugata Mitra adalah kepala ilmuwan di sebuah perusahaan di New Delhi yang melatih pengembang software. Kantornya berada dipinggiran daerah kumuh, dan pada suatu hari, ia memutuskan untuk menempatkan sebuah komputer di sudut tembok yang memisahkan kantornya dengan rumah di sebelahnya. Ia penasaran apa yang akan dilakukan oleh anak-anak itu lakukan, terlebih jika ia tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Dia cukup menyalakan komputernya dan memperhatikan dari jauh. Dan ini yang membuatnya terkejut, anak-anaknya dapat dengan cepat memahami bagaimana cara menggunakannya.
Selama bertahun-tahun, Mitra menjadi lebih ambisius. Karena studi yang dipublikasikan pada tahun 2010, ia mengisi sebuah komputer dengan material molekuler biologis dan mengaturnya di Kalikuppam, sebuah desa di India selatan. Ia memilih sebuah kelompok kecil yang terdiri dari anak-anak berusia 10 tahuh sampai 14 tahun dan mengatakan kepada mereka bahwa ada sesuatu yang menarik di dalam komputer, dan maukah mereka melihatnya? Kemudian ia menerapkan metode pedagogisnya, dan pergi meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun.
Setelah lebih dari 75 hari, anak-anak itu bekerja keras mencari tahu bagaimana cara menggunakan komputer tersebut dan mulai belajar. Ketika Mitra kembali, ia mengurus ujian tertulis molekuler biologis. Anak-anak tersebut menjawab 1 dari 4 pertanyaan tersebut dengan benar. Setelah 75 hari berikutnya, dengan dorongan lingkungan setempat yang ramah, mereka menjawab setiap pertanyaannya dengan tepat. "Jika kamu menempatkan sebuah komputer di depan anak-anak, dan membuang semua larangan orang dewasa, mereka akan mengatur dirinya sendiri di sekitarnya." Mitra berkata, "Seperti lebah di sekitar sebuah bunga."
Seperti seorang Dai yang karismatik dan meyakinkan, Mitra menjadi sangat menawan di dunia teknologi. Pada awal tahun 2013, ia memenangkan 1 juta dollar dari TED, konferensi ide global, untuk meneruskan pekerjaannya. Ia sekarang tengah dalam proses mendirikan tujuh "sekolah awan", lima sekolah berada di India, dan dua sekolah di Inggris. Di India, kebanyakan sekolahnya terdiri dari satu ruangan. Tidak akan ada guru, kurikulum, atau perbedaan kelompok berdasarkan umur—hanya ada 6 komputer dan seorang wanita yang menjaga keamanan anak-anak. Prinsipnya menjelaskan, "Anak-anak benar-benar dalam tanggung jawab."
"Intinya adalah, jika bukan anda yang mengatur pengetahuan anda sendiri, maka anda juga tidak akan belajar."
Mitra berpendapat bahwa revolusi infomasi telah memungkinkan sebuah cara belajar yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya. Bagian luar sekolahnya terbuat dari kaca, sehingga orang-orang yang berada di luar, dapat mengintip ke dalam. Di dalam kelas, murid-murid berkumpul dalam kelompok di sekitar komputer dan meneliti topik yang menarik bagi mereka. Ia juga telah merekrut guru-guru Inggris yang telah pensiun yang terkadang muncul di layar besar melalui Skype, untuk menyemangati murid-murid untuk meneliti gagasan-gagasan mereka—sebuah proses yang dipercaya Mitra sebagai metode belajar terbaik. Ia menyebut mereka Nenek Awan. "Mereka seukuran orang dewasa pada umumnya, dan berada pada dua tembok", kata Mitra. "Dan, anak-anak dapat selalu mematikan mereka."
Karya-karya Mitra telah berakar dalam praktek pendidikan Socrates. Ahli teori dari Johann Heinrich Pestalozzi sampai Jean Piaget dan Maria Montessori telah berpendapat bahwa murid seharusnya belajar dengan bermain dan mengikuti rasa penasarannya. Einstein menghabiskan waktunya selama setahun di Pestalozzi, menginspirasi sebuah sekolah pada pertengahan tahun 1890, dan kemudian ia diberikan penghargaan dengan memberikannya kebebasan untuk memulai eksperimen pertamanya pada teori relativitas. Pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin demikian juga menyatakan bahwa pendidikan Montessori mengilhami mereka dengan semangat akan kebebasan dan kreatifitas.
Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti telah menyokong teori-teori ini dengan bukti. Pada studi di tahun 2011, ilmuwan di Universitas Illinois di Urbana-Champaign dan Universitas Iowa meneliti aktifitas otak dari 16 orang yang duduk di depan komputer. Layarnya dibuat menjadi kabur, kecuali persegi kecil yang dapat bergerak, yang digunakan untuk melihat objek di layar secara sekilas. Pada awalnya, peserta mengendalikan persegi yang dapat bergerak sesuai dengan kecepatan yang ditentukan untuk mengetahui objek yang berada dalam layar yang kabur itu. Kemudian, mereka melihat tayangan ulang orang lain yang menggerakkan perseginya. Studi menemukan bahwa ketika subjek melakukan pengamatannya sendiri, mereka menunjukkan kordinasi yang lebih antara hippocampus dan bagian otak lain yang terlibat dalam aktifitas belajar dan memperlihatkan kemajuan sebesar 23 persen dalam kemampuan mereka untuk mengingat objek.
Pada tahun 2009, ilmuwan dari Universitas Louisville dan Departemen Ilmu Pengetahuan Otak dan Ingatan MIT, mengadakan sebuah studi dari 48 anak-anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun. Mereka diberikan mainan yang dapat berbicara, nada-nada yang dapat dimainkan, dan merefleksikan gambar, dan lain-lain. Untuk satu kelompok anak-anak, seorang peneliti menunjukkan mainannya dan membiarkan mereka bermain dengan mainannya. Dan kelompok lain yang tidak diberitahukan mengenai mainan tersebut. Kelompok ini bermain lebih lama dan menemukan enam sifat dari mainan tersebut. Dan grup yang diberitahu apa yang harus dilakukan hanya menemukan 4 sifat dari mainan tersebut. Sebuah studi yang serupa juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak diberikan instruksi akan lebih pasti menemukan solusi terhadap sebuah masalah. "Ilmu pengatahuan itu baru, tapi bukan seolah-olah orang tidak mempunyai intuisi seperti ini sebelumnya." kata penulis Alison Gopnik, seorang profesor psikologi di UC Berkeley.
Penelitian Gopnik dijelaskan sebagian oleh Intelejensi Buatan (A.I). Jika kau memprogram pergerakan sebuah robot, ia bilang, itu tidak bisa beradaptasi pada sesuatu yang tidak diharapkan. Tetapi ketika ilmuwan menciptakan mesin yang diprogram untuk mencoba berbagai variasi gerakan dan dapat belajar dari kesalahan, maka robot akan dapat lebih beradaptasi dan terampil. Prinsip yang sama juga berlaku ke anak-anak, katanya.
Source.
Untuk seorang gadis kecil berumur 12 tahun bernama Paloma Noyola Bueno, tempat itu merupakan tempat yang cerah baginya. Lebih dari 25 tahun yang lalu, keluarganya pindah dari ibu kota menuju perbatasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tetapi, mereka malah terjebak dan hidup dikelilingi oleh sampah. Ayahnya setiap hari menghabiskan waktunya memulung sampah, menggali untuk mencari potongan alumunium, beling, atau plastik dalam kotoran. Akhir-akhir ini, ia mengalami hidung berdarah, tetapi ia tak mau mengkhawatirkan Paloma. Ia adalah malaikat kecilnya—yang terkecil dari delapan bersaudara.
Setelah jam sekolah usai, Paloma pulang menuju rumah dan duduk bersama Ayahnya pada ruangan utama rumahnya. Ayahnya adalah seorang lelaki kurus yang selalu mengenakan topi koboy. Paloma juga sering menceritakan kesehariannya di sekolah—dalam seragam putih birunya—dan mencoba untuk menghiburnya. Rambut Paloma yang berwarna hitam dan panjang, dan dahinya yang lebar, serta cara bicaranya yang teratur dan bijaksana. Sekolah tidak pernah lebih menantang baginya. Ia duduk dalam barisan bersama murid yang lainnya, ketika sang guru menjelaskan apa yang harus mereka ketahui. Tidaklah terlalu susah baginya untuk mengulang, dan ia dapat meraih nilai bagus tanpa harus berpikir keras. Ketika ia mulai naik kelas lima, dia beranggapan bahwa dia akan berada di sana untuk keadaan yang sama—membaca, menghafal, dan keseharian yang sibuk.
Sergio Juarez Correa terbiasa mengajar kelas yang seperti itu. Selama lima tahun ia telah berdiri di depan kelas, mengajarkan kepada anak muridnya kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sangat membosankan baginya dan murid-muridnya, dan pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa itu hanyalah buang-buang waktu saja. Nilai ujian yang jelek, dan bahkan murid yang belajar dengan baik pun tidak menggunakannya dengan baik. Sesuatu harus berubah.
Dia juga dulu tumbuh besar di samping tumpukan sampah di Matamoros, dan ia telah menjadi guru yang membantu anak muridnya mempelajari sesuatu untuk membuat sesuatu yang lebih untuk hidup mereka. Pada tahun 2011—ketika Paloma memasuki kelasnya—Juarrez Correa mulai bereksperimen. Ia mulai membaca buku-buku dan mencari ide secara online. Dan kemudian, secara kebetulan, ia menemukan sebuah video yang menjelaskan karya Sugatra Mitra, seorang profesor dari pendidikan teknologi di Universitas Newcastle di Inggris. Pada akhir tahun 1990 dan selama tahun 2000, Mitra mengadakan eksperimen dengan memberikan akses komputer kepada anak-anak di India. Tanpa instruksi, mereka mampu belajar berbagai hal sendiri, dari replika DNA sampai bahasa Inggris.
Juarrez belum mengetahuinya, tetapi ia telah menerapkan salah satu filosofi pendidikan, yaitu dengan menerapkan logika zaman digital di ruangan kelasnya. Logika tak terkalahkan; Dengan mengakses dunia dengan informasi tidak terbatas telah mengubah cara kita berkomunikasi, memproses informasi, dan cara berpikir. Sistem desentralisasi terbukti lebih produktif dan cerdas. Inovasi, kreativitas, dan berpikir bebas telah meningkat secara drastis kepada ekonomi global.
Namun, model pendidikan publik yang dominan tetap berakar pada perputaran industri yang melahirkannya, ketika tempat kerja menilai ketetapan waktu, keteraturan, perhatian, dan ketenangan di atas semanya. Kami tidak secara terbuka mengakui nilai-nilai itu sekarang, tetapi sistem pendidikan kami—yang secara rutin menguji kemampuan anak-anak untuk mengingat kembali informasi dan mendemonstrasikan kemampuan-kemampuan yang terbatas—melihat bahwa murid hanya sebagai material untuk diproses, diprogram, dan diuji kualitasnya. Pengurus sekolah yang telah menyiapkan standar kurikulum dan panduan yang menyuruh para guru apa yang harus diajarkan setiap harinya. Dan terdapat banyak manajer yang mengawasi semuanya yang terjadi di ruang kelas; pada tahun 2010 hanya 50% dari staff sekolah publik yang menjadi guru.
Dan hasilnya berbicara; ratusan dari ribuan anak yang drop-out dari sekolah tinggi publik setiap tahunnya. Mereka yang lulus dari sekolah tinggi, hampir semua "tidak siap secara akademik pada tahun pertama kuliah", menurut laporan layanan ujian ACT pada tahun 2013. Forum Ekonomi Dunia menempatkan Amerika Serikat pada urutan ke 48 dari 149 negara yang mengembangkan kualitas dalam matematika dan intruksi sains. "Basis fundamental sistem ini sangat cacat," Kata Linda Darling-Hammond, seorang profesor pendidikan di Stanford dan direktur pendiri dari National Commission on Teaching and America's Future. "Pada tahun 1970, tiga kemampuan yang dibutuhkan untuk menuju kemakmuran adalah: membaca, menulis, dan matematika. Pada tahun 1999 tiga kemampuan utama yang dituntut adalah kerja sama, pemecahan masalah, dan kemampuan interpersonal. Kita membutuhkan sekolah yang mengembangkan tiga kemampuan itu."
Itulah mengapa kita membutuhkan pengajar-pengajar jenis baru, yang terinspirasi dari internet sampai psikologi evolusioner, neuroscience, dan AI, yang mengembangkan banyak cara dasar untuk anak belajar, bertumbuh, dan berkembang. Bagi mereka, pendidikan bukanlah komoditas yang dikirimkan oleh guru untuk murid, tetapi sesuatu yang muncul dari penjelajahan rasa ingin tahu sang murid. Guru hanya menyediakan saran-saran, bukan jawaban, dan kemudian mereka menyingkir sehingga murid dapat belajar sendiri. Mereka menciptakan cara kreatif untuk anak-anak dalam mencari minatnya dan membuka generasi-generasi jenius dalam prosesnya.
Di rumahnya, di Matamoros, Juarez Correa menemukan dirinya tertarik dengan ide-ide ini. Dan ketika ia mempelajarinya lebih dalam, ia menjadi lebih tertarik lagi. Pada bulan Agustus, tahun 2011—awal sekolah tahunan—ia berjalan ke dalam ruangan kelasnya dan menarik meja-meja kayu menjadi sebuah kelompok kecil. Ketika Paloma dan murid lain masuk kelas, mereka terlihat bingung. Juarez Correa meminta mereka untuk duduk dan ia duduk bersama mereka.
Ia mulai dengan menceritakan bahwa ada seorang anak di belahan Bumi lain yang dapat mengingat pi sampai ratusan angka desimal. Mereka dapat menulis simfoni dan merakit robot dan pesawat. Mayoritas orang tidak akan berpikir bahwa murid-murid di José Urbina López dapat melakukan hal-hal itu. Anak-anak yang tepat berada di seberang perbatasan Brownsville, Texas, memiliki laptop, koneksi internet berkecepatan tinggi, les. Sementara di Matamoros, murid-muridnya mempunyai listrik yang putus nyambung, komputer yang sedikit, internet yang terbatas, dan terkadang tak cukup mempunyai makanan untuk dimakan.
“But you do have one thing that makes you the equal of any kid in the world,” kata Juárez Correa. “Potential.”
Dan dia melihat sekitar ruangan kelas, "Dan mulai sekarang," ia berkata kepada murid-muridnya, "Kita akan menggunakan potensi itu untuk membuatmu sebagai murid terbaik di dunia."
Paloma terdiam, menunggu untuk disuruh. Ia tidak menyadarinya sampai sembilan bulan kedepan, pengalaman sekolahnya akan ditulis ulang, memanfaatkan semua inovasi pendidikan dari seluruh dunia dan membantunya dan teman sekelasnya menjadi peringkat teratas dalam matematika dan bahasa di Mexico.
"Jadi?" kata Juarrez Correa. "Apa yang mau kalian pelajari?"
Pada tahun 1999, Sugata Mitra adalah kepala ilmuwan di sebuah perusahaan di New Delhi yang melatih pengembang software. Kantornya berada dipinggiran daerah kumuh, dan pada suatu hari, ia memutuskan untuk menempatkan sebuah komputer di sudut tembok yang memisahkan kantornya dengan rumah di sebelahnya. Ia penasaran apa yang akan dilakukan oleh anak-anak itu lakukan, terlebih jika ia tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Dia cukup menyalakan komputernya dan memperhatikan dari jauh. Dan ini yang membuatnya terkejut, anak-anaknya dapat dengan cepat memahami bagaimana cara menggunakannya.
Selama bertahun-tahun, Mitra menjadi lebih ambisius. Karena studi yang dipublikasikan pada tahun 2010, ia mengisi sebuah komputer dengan material molekuler biologis dan mengaturnya di Kalikuppam, sebuah desa di India selatan. Ia memilih sebuah kelompok kecil yang terdiri dari anak-anak berusia 10 tahuh sampai 14 tahun dan mengatakan kepada mereka bahwa ada sesuatu yang menarik di dalam komputer, dan maukah mereka melihatnya? Kemudian ia menerapkan metode pedagogisnya, dan pergi meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun.
Setelah lebih dari 75 hari, anak-anak itu bekerja keras mencari tahu bagaimana cara menggunakan komputer tersebut dan mulai belajar. Ketika Mitra kembali, ia mengurus ujian tertulis molekuler biologis. Anak-anak tersebut menjawab 1 dari 4 pertanyaan tersebut dengan benar. Setelah 75 hari berikutnya, dengan dorongan lingkungan setempat yang ramah, mereka menjawab setiap pertanyaannya dengan tepat. "Jika kamu menempatkan sebuah komputer di depan anak-anak, dan membuang semua larangan orang dewasa, mereka akan mengatur dirinya sendiri di sekitarnya." Mitra berkata, "Seperti lebah di sekitar sebuah bunga."
Seperti seorang Dai yang karismatik dan meyakinkan, Mitra menjadi sangat menawan di dunia teknologi. Pada awal tahun 2013, ia memenangkan 1 juta dollar dari TED, konferensi ide global, untuk meneruskan pekerjaannya. Ia sekarang tengah dalam proses mendirikan tujuh "sekolah awan", lima sekolah berada di India, dan dua sekolah di Inggris. Di India, kebanyakan sekolahnya terdiri dari satu ruangan. Tidak akan ada guru, kurikulum, atau perbedaan kelompok berdasarkan umur—hanya ada 6 komputer dan seorang wanita yang menjaga keamanan anak-anak. Prinsipnya menjelaskan, "Anak-anak benar-benar dalam tanggung jawab."
"Intinya adalah, jika bukan anda yang mengatur pengetahuan anda sendiri, maka anda juga tidak akan belajar."
Mitra berpendapat bahwa revolusi infomasi telah memungkinkan sebuah cara belajar yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya. Bagian luar sekolahnya terbuat dari kaca, sehingga orang-orang yang berada di luar, dapat mengintip ke dalam. Di dalam kelas, murid-murid berkumpul dalam kelompok di sekitar komputer dan meneliti topik yang menarik bagi mereka. Ia juga telah merekrut guru-guru Inggris yang telah pensiun yang terkadang muncul di layar besar melalui Skype, untuk menyemangati murid-murid untuk meneliti gagasan-gagasan mereka—sebuah proses yang dipercaya Mitra sebagai metode belajar terbaik. Ia menyebut mereka Nenek Awan. "Mereka seukuran orang dewasa pada umumnya, dan berada pada dua tembok", kata Mitra. "Dan, anak-anak dapat selalu mematikan mereka."
Karya-karya Mitra telah berakar dalam praktek pendidikan Socrates. Ahli teori dari Johann Heinrich Pestalozzi sampai Jean Piaget dan Maria Montessori telah berpendapat bahwa murid seharusnya belajar dengan bermain dan mengikuti rasa penasarannya. Einstein menghabiskan waktunya selama setahun di Pestalozzi, menginspirasi sebuah sekolah pada pertengahan tahun 1890, dan kemudian ia diberikan penghargaan dengan memberikannya kebebasan untuk memulai eksperimen pertamanya pada teori relativitas. Pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin demikian juga menyatakan bahwa pendidikan Montessori mengilhami mereka dengan semangat akan kebebasan dan kreatifitas.
Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti telah menyokong teori-teori ini dengan bukti. Pada studi di tahun 2011, ilmuwan di Universitas Illinois di Urbana-Champaign dan Universitas Iowa meneliti aktifitas otak dari 16 orang yang duduk di depan komputer. Layarnya dibuat menjadi kabur, kecuali persegi kecil yang dapat bergerak, yang digunakan untuk melihat objek di layar secara sekilas. Pada awalnya, peserta mengendalikan persegi yang dapat bergerak sesuai dengan kecepatan yang ditentukan untuk mengetahui objek yang berada dalam layar yang kabur itu. Kemudian, mereka melihat tayangan ulang orang lain yang menggerakkan perseginya. Studi menemukan bahwa ketika subjek melakukan pengamatannya sendiri, mereka menunjukkan kordinasi yang lebih antara hippocampus dan bagian otak lain yang terlibat dalam aktifitas belajar dan memperlihatkan kemajuan sebesar 23 persen dalam kemampuan mereka untuk mengingat objek.
Pada tahun 2009, ilmuwan dari Universitas Louisville dan Departemen Ilmu Pengetahuan Otak dan Ingatan MIT, mengadakan sebuah studi dari 48 anak-anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun. Mereka diberikan mainan yang dapat berbicara, nada-nada yang dapat dimainkan, dan merefleksikan gambar, dan lain-lain. Untuk satu kelompok anak-anak, seorang peneliti menunjukkan mainannya dan membiarkan mereka bermain dengan mainannya. Dan kelompok lain yang tidak diberitahukan mengenai mainan tersebut. Kelompok ini bermain lebih lama dan menemukan enam sifat dari mainan tersebut. Dan grup yang diberitahu apa yang harus dilakukan hanya menemukan 4 sifat dari mainan tersebut. Sebuah studi yang serupa juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak diberikan instruksi akan lebih pasti menemukan solusi terhadap sebuah masalah. "Ilmu pengatahuan itu baru, tapi bukan seolah-olah orang tidak mempunyai intuisi seperti ini sebelumnya." kata penulis Alison Gopnik, seorang profesor psikologi di UC Berkeley.
Penelitian Gopnik dijelaskan sebagian oleh Intelejensi Buatan (A.I). Jika kau memprogram pergerakan sebuah robot, ia bilang, itu tidak bisa beradaptasi pada sesuatu yang tidak diharapkan. Tetapi ketika ilmuwan menciptakan mesin yang diprogram untuk mencoba berbagai variasi gerakan dan dapat belajar dari kesalahan, maka robot akan dapat lebih beradaptasi dan terampil. Prinsip yang sama juga berlaku ke anak-anak, katanya.
Source.