Deschooling.
Ditulis oleh: Andini Rizky.
Terkait dengan homeschooling, ada suatu masa penyesuaian atau transisi, yang dialami orang tua dan anak setelah keluar dari sekolah formal dan memasuki alam pendidikan rumah. Semakin menekan dan traumatis pengalaman bersekolah bagi anak, semakin dia menjauhi hal-hal yang berbau ‘belajar’ dan upaya pengajaran dari orang tua, sehingga semakin khawatir orang tua melihat anaknya setiap hari cuma tidur, main game, atau nonton TV saja.
Semakin banyak jumlah tahun yang dihabiskan anak di sekolah akan mempengaruhi lamanya masa deschooling, sampai ia kembali berminat dan mencintai belajar. Ada praktisi homeschool yang menyebutkan perlu deschooling satu bulan untuk setiap satu tahun di sekolah, misalnya anak umur 9 tahun yang sudah bersekolah 3 tahun membutuhkan waktu 3 bulan deschooling, atau 3 bulan masa rileks, bebas dari instruksi formal. Namun anggaplah ini sebagai ancer-ancer saja karena tiap anak berbeda.
Masa deschooling bagi anak ini bisa dibilang wajar terjadi, karena sangat sulit mempertahankan hasrat belajar setelah tahun-tahun yang dihabiskan duduk diam di sekolah. Kerap kali anak sekolah berakhir dengan merasa dirinya bodoh, merasa dia tidak bisa dipercaya untuk belajar tanpa paksaan, dia harus mengikuti prosedur tertentu yang ditetapkan guru untuk dapat menguasai sesuatu meskipun prosedur itu tidak masuk akal baginya. Dia sudah terlalu lama diajari bahwa belajar bukan sesuatu yang aktif menggunakan logika, melainkan kegiatan pasif di mana dia tinggal duduk diam menunggu disuapi ilmu. Dia berkesimpulan bahwa ketertarikannya pada sesuatu dan rasa ingin tahunya adalah tidak penting dibandingkan maunya kurikulum, dan dengan sendirinya dia merasa rasa ingin tahu adalah sesuatu yang memalukan dan harus disembunyikan. Dia belajar untuk tidak perduli pada kata hatinya. Dia juga belajar bahwa menjadi salah, tidak yakin, dan bingung adalah kejahatan besar yang tidak termaafkan. Sekolah hanya mencari satu jawaban benar, dan dia dibuat merasa bodoh untuk jawaban yang ‘salah’. Padahal tidak mungkin manusia bisa belajar sesuatu yang baru tanpa merasa bingung, tidak pasti, dan salah terlebih dahulu.
Masa deschooling merupakan masa yang penting, masa untuk memulihkan rasa percaya diri anak, rasa ingin tahunya sebagai bahan bakar utama dalam belajar mandiri, serta menguatkan kepercayaan anak terhadap orang tua, dan sebaliknya. Saat ini lah orang tua dan anak bisa mengeksplorasi alternatif gaya dan metode belajar terbaik bagi anak.
Pertama, orang tua jangan terburu-buru masuk ke metode school-at-home atau memindahkan gaya belajar sekolah ke rumah begitu saja. Semakin ngotot orang tua berperan sebagai guru, dan semakin orang tua memaksa anak berperan sebagai murid sekolah (tetapi di rumah), semakin si anak akan menolak belajar. Tanpa pengetahuan tentang deschooling, orang tua bisa jadi menyimpulkan homeschool yang mereka lakukan telah gagal dan lalu mengembalikan anak-anak ke sekolah.
Kedua, orang tua perlu meninggalkan keyakinan bahwa belajar hanya bisa terjadi dalam setting ruang kelas, harus berganti mata pelajaran setiap 45 menit, dengan cara duduk diam, mengerjakan lembaran soal dan buku teks pelajaran yang membosankan.
Jika ada sekolah alternatif, maka pembelajaran pun bisa terjadi dengan cara-cara alternatif. Ingat pepatah: pengalaman/hidup adalah guru yang terbaik? Belajar bisa dilakukan dengan perjalanan edukatif (field trip) ke pasar, museum, perpustakaan, belajar bisa dilakukan dengan membuat sesuatu (kue, memelihara hewan, berkebun, dsb.), belajar bisa dengan membaca bersama tema-tema yang disukai anak, belajar bisa dari kegiatan sukarela di panti asuhan, pramuka, remaja mesjid, karang taruna, dan sebagainya. Hindari jadwal yang ketat dan membuat orang tua dan anak sama-sama kehabisan napas.
Ketiga, cari dukungan dan masukan dari sesama praktisi homeschool. Bisa lewat milis sekolahrumah, menghadiri pertemuan komunitas homeschooling, menghubungi japri praktisi yang sudah berpengalaman, mengundang mereka ke rumah, dan lain-lain.
Masa deschooling mungkin terasa seperti kumpulan hari-hari buruk homeschooling, namun mengutip seorang ibu yang bijak, “Hari terburuk anak saya dalam homeschooling selalu lebih baik daripada hari terbaiknya di sekolah.”
Source.
Terkait dengan homeschooling, ada suatu masa penyesuaian atau transisi, yang dialami orang tua dan anak setelah keluar dari sekolah formal dan memasuki alam pendidikan rumah. Semakin menekan dan traumatis pengalaman bersekolah bagi anak, semakin dia menjauhi hal-hal yang berbau ‘belajar’ dan upaya pengajaran dari orang tua, sehingga semakin khawatir orang tua melihat anaknya setiap hari cuma tidur, main game, atau nonton TV saja.
Masa sulit ini disebut deschooling.
Semakin banyak jumlah tahun yang dihabiskan anak di sekolah akan mempengaruhi lamanya masa deschooling, sampai ia kembali berminat dan mencintai belajar. Ada praktisi homeschool yang menyebutkan perlu deschooling satu bulan untuk setiap satu tahun di sekolah, misalnya anak umur 9 tahun yang sudah bersekolah 3 tahun membutuhkan waktu 3 bulan deschooling, atau 3 bulan masa rileks, bebas dari instruksi formal. Namun anggaplah ini sebagai ancer-ancer saja karena tiap anak berbeda.
Masa deschooling bagi anak ini bisa dibilang wajar terjadi, karena sangat sulit mempertahankan hasrat belajar setelah tahun-tahun yang dihabiskan duduk diam di sekolah. Kerap kali anak sekolah berakhir dengan merasa dirinya bodoh, merasa dia tidak bisa dipercaya untuk belajar tanpa paksaan, dia harus mengikuti prosedur tertentu yang ditetapkan guru untuk dapat menguasai sesuatu meskipun prosedur itu tidak masuk akal baginya. Dia sudah terlalu lama diajari bahwa belajar bukan sesuatu yang aktif menggunakan logika, melainkan kegiatan pasif di mana dia tinggal duduk diam menunggu disuapi ilmu. Dia berkesimpulan bahwa ketertarikannya pada sesuatu dan rasa ingin tahunya adalah tidak penting dibandingkan maunya kurikulum, dan dengan sendirinya dia merasa rasa ingin tahu adalah sesuatu yang memalukan dan harus disembunyikan. Dia belajar untuk tidak perduli pada kata hatinya. Dia juga belajar bahwa menjadi salah, tidak yakin, dan bingung adalah kejahatan besar yang tidak termaafkan. Sekolah hanya mencari satu jawaban benar, dan dia dibuat merasa bodoh untuk jawaban yang ‘salah’. Padahal tidak mungkin manusia bisa belajar sesuatu yang baru tanpa merasa bingung, tidak pasti, dan salah terlebih dahulu.
Masa deschooling merupakan masa yang penting, masa untuk memulihkan rasa percaya diri anak, rasa ingin tahunya sebagai bahan bakar utama dalam belajar mandiri, serta menguatkan kepercayaan anak terhadap orang tua, dan sebaliknya. Saat ini lah orang tua dan anak bisa mengeksplorasi alternatif gaya dan metode belajar terbaik bagi anak.
Apa yang harus dilakukan dalam masa deschooling?
Pertama, orang tua jangan terburu-buru masuk ke metode school-at-home atau memindahkan gaya belajar sekolah ke rumah begitu saja. Semakin ngotot orang tua berperan sebagai guru, dan semakin orang tua memaksa anak berperan sebagai murid sekolah (tetapi di rumah), semakin si anak akan menolak belajar. Tanpa pengetahuan tentang deschooling, orang tua bisa jadi menyimpulkan homeschool yang mereka lakukan telah gagal dan lalu mengembalikan anak-anak ke sekolah.
Kedua, orang tua perlu meninggalkan keyakinan bahwa belajar hanya bisa terjadi dalam setting ruang kelas, harus berganti mata pelajaran setiap 45 menit, dengan cara duduk diam, mengerjakan lembaran soal dan buku teks pelajaran yang membosankan.
Jika ada sekolah alternatif, maka pembelajaran pun bisa terjadi dengan cara-cara alternatif. Ingat pepatah: pengalaman/hidup adalah guru yang terbaik? Belajar bisa dilakukan dengan perjalanan edukatif (field trip) ke pasar, museum, perpustakaan, belajar bisa dilakukan dengan membuat sesuatu (kue, memelihara hewan, berkebun, dsb.), belajar bisa dengan membaca bersama tema-tema yang disukai anak, belajar bisa dari kegiatan sukarela di panti asuhan, pramuka, remaja mesjid, karang taruna, dan sebagainya. Hindari jadwal yang ketat dan membuat orang tua dan anak sama-sama kehabisan napas.
Belajar bisa menyenangkan. Belajar seharusnya menyenangkan.
Ketiga, cari dukungan dan masukan dari sesama praktisi homeschool. Bisa lewat milis sekolahrumah, menghadiri pertemuan komunitas homeschooling, menghubungi japri praktisi yang sudah berpengalaman, mengundang mereka ke rumah, dan lain-lain.
Masa deschooling mungkin terasa seperti kumpulan hari-hari buruk homeschooling, namun mengutip seorang ibu yang bijak, “Hari terburuk anak saya dalam homeschooling selalu lebih baik daripada hari terbaiknya di sekolah.”
Source.