Anak Vs Ortu.

Ditulis oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

(Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.)

Judul di atas sungguh menggelitik saya. Pertanyaan ini diajukan oleh seorang ayah pada saya di forum “yuk-jadi orangtua shalih”. Benarkah anak sekarang lebih sering membantah orangtua daripada anak jaman dulu?

Sebenarnya, sikap membantah anak pada orangtua adalah hal yang tak dapat dihindari, baik jaman dulu maupun sekarang. Apakah anak sekarang lebih sering membantah daripada anak jaman dulu? Ini perlu pembuktian lebih lanjut. Mungkin perlu wawancara yang melibatkan banyak orangtua melalui sebuah penelitian yang terukur. Tetapi, bahwa anak jaman dulu dan sekarang juga pernah membantah orangtua, adalah hal yang tak terhindarkan?

Pertama, karena orangtua dan anak memiliki ‘pikiran’ masing-masing. Pikiran ‘tua’ dan ‘muda’ dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan keinginan, harapan hingga cara mewujudkan harapan dan keinginan tersebut.

Kedua, meski kadang ada irisan, kemiripan karakter, tak dapat dipungkiri setiap manusia memiliki karakter uniknya masing-masing. Anak kembar pun yang memiliki kemiripan wajah, dapat memiliki perbedaan besar dalam karakternya. Apalagi orangtua dan anak.

Dalam batas tertentu, sebenarnya adalah sebuah kewajaran jika terdapat perbedaan karakter orangtua dan anak. Sekali lagi, sepanjang karakter ini tidak negatif, wajar saja anak dan orangtua memiliki perbedaan karakter.

Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian dapat menjadi ‘peluang’ adanya pertentangan anak-orangtua. Saat anak merasa tak nyaman dengan ‘keinginan, harapan dan cara orangtua mewujudkan keinginan dan harapan tersebut—meski sebenarnya tujuan baik untuk anak’, inilah yang kadang membuat sebagian orangtua kemudian menganggapnya sebagai sikap pembangkangan anak pada orangtua.

Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.

Tetapi jika orangtua selalu berusaha ‘menyamakan’ anaknya dengan dirinya dan selalu berusaha membuat anak agar seperti dirinya di masa lalu, perbedaan-perbedaan ini akan makin besar dan dapat mengarah pada anggapan bahwa anaknya ‘membangkang dan membantah’ dirinya. Sikap orangtua yang tak tepat inilah yang kemudian juga menyebabkan orangtua tak nyaman memiliki ‘anak seperti ini’, anak pun sebelas dua belas merasa tak nyaman memiliki ‘orangtua seperti itu’.

Kunci besarnya adalah ada pada kerendahan hati orangtua untuk memahami anaknya. Tak sedikit orangtua bertemu setiap hari dengan anaknya tapi tak mengenal anaknya. Sebagian besar orangtua mungkin mengerti kenakalan anaknya, tapi belum tentu sangat faham dengan kelebihan anaknya. Pemahaman yang tepat tentang anak inilah yang akan menentukan ‘persepsi’ yang tepat pula pada anak dan akhirnya tindakan dan perlakuan pada anak insya Allah juga akan tepat.

Jika orangtua mau rendah hati untuk terus belajar memahami anaknya, bisa jadi ada banyak perbuatan anak yang harusnya dibiarkan, tetapi malah ‘ditahan’. Padahal sebenarnya anak tengah bergairah dengan perbuatan tersebut. Akibatnya, anak jadi ‘terjebak’ untuk ‘membantah’ atau ‘membangkang’ orangtua.

Ilustrasi sederhana saya lakukan saat para peserta PSPA melakukan sebuah permainan sederhana dengan tali. Mereka diberikan tantangan permainan dengan tali tersebut. Saat waktunya habis dan lalu saya katakan ‘sudah berhenti ayah bunda’. Anda tau? Ternyata tak mudah bagi sebagian orangtua ini untuk langsung ‘patuh’ berhenti pada apa yang saya katakan. Mereka masih ‘khusyuk’ dan masih ‘istiqomah’ dengan permainannya.

Saya lalu bertanya pada para peserta dan sengaja dengan guyon menirukan kalimat yang sering dilontarkan sebagian orangtua pada anak: “Mengapa sih kalian ini susah dibilangin? Harus berapa kali ABAH bilang, dibilang berhenti ya berhenti! Telinganya disimpan dimana? Kenapa sih membangkang?!”

“Habis lagi asyik abah!” jawab sebagain peserta. “Yeee ABAH jangan marah-marah gitu dong!”, celetuk yang lain tertawa. “Kalau penasaran ya susah berhenti!”

Tahukah ayah bunda? Anak Anda pun demikian. Pada kasus tertentu, sebenarnya mereka tak bermaksud membantah atau membangkang orangtua. Tapi karena orangtua tak memahami konteks dan situasi yang melingkupi anak dan lalu memaksakan ‘perintah’ tertentu pada, padahal anak tengah asyik masyuk, menyebabkan anak mengalami ‘pertentangan dalam pikirannya sendiri’: mau teruskan permainan atau nurut ayah bunda dulu?

Saat anak-anak kita yang berusia 9 tahun misalnya tengah bermain drama dan sangat asyik dengan teman-temannya. Lalu tiba-tiba orangtua memanggilnya ‘Reniiii beliiin ibu gula merah ke warung sebentar….’. Apa yang akan anak rasakan?

Jangan dikira anak nyaman dengan situasi ini. Mau diteruskan, ketinggalan acara! Tidak diteruskan, bunda akan anggap aku tak patuh! Repot kan jadi anak jika punya orangtua tak memahami ini?

Makin besar anak makin banyak pula perbedaan harapan, keinginan dan cara mewujudkan harapan serta keinginan tersebut. Saat perbedaan ini tak ‘dikompromikan’, akibatnya anak menganggap orangtua ‘tak mengerti perasaan anak (egois)’ dan orangtua pun menganggap anaknya semakin membangkang.

Source.