Komunitas Homeschooling tolak diskriminasi pendidikan.
Komunitas homeschooling yang tergabung dalam Asosiasi
Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif menolak diskriminasi dalam
penyelenggaraan ujian nasional pendidikan kesetaraan atau UNPK.
Komunitas ini meminta supaya draft Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
tentang UNPK benar-benar mengakomodasi kepentingan anak-anak yang
memilih jalur pendidikan nonformal dan informal.
Ketidaksetujuan komunitas homeschooling Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) yang diketuai Seto Mulyadi ini disampaikan di Jakarta, Selasa (15/1). Para orang tua dan anak yang tergabung dalam komunitas homeschooling ini menyampaikan protes mengenai ketentuan UNPK yang dinilai tidak adil kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dhanang Sasongko, Sekretaris Umum Asah Pena, mengatakan mereka menolak diskriminasi terhadap peserta pendidikan kesetaraan. Waktu pelaksanaan UNPK dinilai lebih untuk mengakomodasi anak-anak dari sekolah formal yang tidak lulus UN agar dapat mengulang di UNPK akan menempatkan pendidikan kesetaraan sebagai pembuangan dari sistem pendidikan formal.
Ketentuan umur ijazah peserta UNPK di bawahnya minimal tiga tahun sangat merugikan perkembangan anak-anak peserta pendidikan kesetaraan, khusunya bagi mereka yang memiliki kompetensi untuk mengikuti program akselerasi. Pelaksanaan UNPK di bulan Juli juga menyebabkan peserta pendidikan kesetaraan tidak bisa mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di tahun tersebut.
Asah Pena yang beridiri tahun 2006 untuk mewadahi para penyelanggara pendidikan kesetaraan di Indonesia ini memiliki anggota 36 komunitas seloah rumah. Peserta didik berjumlah 2.000 orang yang antara lain tersebar di Kalimantan Timur, Jawa Timur, DKI Jakarta, Medan, Denpasar, dan Ternate.
Djemari Mardapi, Ketua BSNP, mengatakan, ketentuan mengenai UNPK itu dibuat untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Apalagi pembahasan soal ketentuan UNPK itu sudah disepakati berbagai pihak seperti Depdiknas, Departemen Agama, dan pondok pesantren.
Source.
Ketidaksetujuan komunitas homeschooling Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) yang diketuai Seto Mulyadi ini disampaikan di Jakarta, Selasa (15/1). Para orang tua dan anak yang tergabung dalam komunitas homeschooling ini menyampaikan protes mengenai ketentuan UNPK yang dinilai tidak adil kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dhanang Sasongko, Sekretaris Umum Asah Pena, mengatakan mereka menolak diskriminasi terhadap peserta pendidikan kesetaraan. Waktu pelaksanaan UNPK dinilai lebih untuk mengakomodasi anak-anak dari sekolah formal yang tidak lulus UN agar dapat mengulang di UNPK akan menempatkan pendidikan kesetaraan sebagai pembuangan dari sistem pendidikan formal.
Ketentuan umur ijazah peserta UNPK di bawahnya minimal tiga tahun sangat merugikan perkembangan anak-anak peserta pendidikan kesetaraan, khusunya bagi mereka yang memiliki kompetensi untuk mengikuti program akselerasi. Pelaksanaan UNPK di bulan Juli juga menyebabkan peserta pendidikan kesetaraan tidak bisa mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di tahun tersebut.
Asah Pena yang beridiri tahun 2006 untuk mewadahi para penyelanggara pendidikan kesetaraan di Indonesia ini memiliki anggota 36 komunitas seloah rumah. Peserta didik berjumlah 2.000 orang yang antara lain tersebar di Kalimantan Timur, Jawa Timur, DKI Jakarta, Medan, Denpasar, dan Ternate.
Djemari Mardapi, Ketua BSNP, mengatakan, ketentuan mengenai UNPK itu dibuat untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Apalagi pembahasan soal ketentuan UNPK itu sudah disepakati berbagai pihak seperti Depdiknas, Departemen Agama, dan pondok pesantren.
”Draft-nya tinggal menunggu ditandatangani Mendiknas saja. Kalau untuk soal waktu cukup sulit untuk diubah. Tapi BSNP akan mencoba untuk bisa menyalurkan aspirasi komunitas homeschooling ini karena kami pun baru tahu jika ternyata ada ketentuan yang belum dapat diterima dan dinilai tidak adil,” kata Djemari.
Source.