Homechooling ala Agus Salim.
Oleh : Muhammad Mulyadi
Agus Salim dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional yang besar perhatiannya terhadap pendidikan. Hal itu dapat dilihat dari pendapat-pendapatnya baik secara lisan maupun melalui artikel-artikel yang ditulisnya mengenai pendidikan. Akan tetapi, Agus Salim ternyata punya cara lain tentang mendidik anak-anaknya. Dan caranya berbeda dengan semangat pendidikan yang digembar-gemborkan pada waktu itu. Dia tidak memasukkan anak-anaknya ke sekolah formal. Padahal sebagai orang yang dipersamakan kedudukannya dengan orang Belanda, dia dapat dengan mudah memasukkan anak-anaknya ke sekolah Belanda. Alasan yang dikemukakan Agus Salim mengenai hal ini adalah, dia tidak mau anak-anaknya belajar pada sekolah penjajah. Alasan lain yang dikemukakan Agus Salim adalah bahwa dia sendiri lebih banyak mendapat pengetahuan dari luar sekolah.
Alasan yang pertama sebetulnya sangat mengherankan, mengingat Agus Salim adalah produk pendidikan kolonial yang waktu itu dianggap sangat berkualitas. Tentu pengetahuan yang didapat Agus Salim sedikitnya berasal dari sekolah produk kolonial itu. Kemudian, kalau tidak menghendaki anak-anaknya sekolah di sekolah formal Belanda, kenapa tidak mengirimkannya ke sekolah yang dikelola oleh pribumi? Alasan yang kedua dapat menerangkan alasan pertama. Pendidikan yang dibuat oleh pemerintah kolonial tidak mengajarkan kenyataan yang ada di masyarakat. Hanya mengajarkan norma-norma ideal menurut pemerintah kolonial. Tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Agus Salim merasa ia sendiri sudah melalui jalan “berlumpur” akibat pendidikan kolonial. Ia tidak tega anak-anaknya melalui jalan itu dan berniat memberi pelajaran sendiri kepada anak-anaknya. Sementara untuk sekolah yang dikelola oleh pribumi mungkin Agus Salim belum mempercayai sepenuhnya. Agus Salim merupakan seorang pengagum Multatuli dan sepaham dengannya, bahwa orang yang sungguh-sungguh harus mendidik anaknya sendiri. Hanya anak bungsunya dimasukkan ke sekolah formal, ketika itu Indonesia sudah merdeka dan Agus Salim semakin sibuk dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui diplomasi-diplomasinya ke berbagai negara.
Lalu bagaimanakah cara Agus Salim mendidik anak-anaknya? Yang jelas Agus Salim tidak pernah memberi pelajaran dengan suatu aturan tertentu. Antara jam belajar dan jam bermain tidak ada batasnya. Artinya setiap saat ia bersama dengan anaknya, maka sebetulnya ia sedang memberi pelajaran, dan itu sudah dimulai saat sang anak lahir. Setiap pelajaran adalah permainan, dan setiap permainan adalah pelajaran.
Sistem yang diterapkan oleh Agus Salim adalah menanamkan sifat mencari tahu melalui bacaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa anak-anak Agus Salim telah terbiasa dengan ensiklopedi sejak usia kanak-kanak. Sistem lain yang diterapkan Agus Salim adalah praktek langsung. Kemampuan anaknya-anaknya dalam menguasai bahasa asing karena adanya pembiasaan menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa sehari-hari. Sehingga dengan demikian anak-anaknya tidak merasa sedang belajar, melainkan sedang bicara seperti layaknya menggunakan bahasa ibu.
Agus Salim sangat yakin bahwa tanpa memasuki sekolah formal pun anak-anaknya dapat menguasai bahasa Inggris. Sama dengan keyakinannya bahwa dia tidak pernah melihat adanya sekolah tempat kuda belajar meringkik. “Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pula saya meringkik dalam bahasa Inggris dan anak-anak saya pun ikut meringkik, juga dalam bahasa Inggris” begitulah jawabnya kepada teman yang meragukan sistem pendidikan yang diterapkan Agus Salim.
Mengenai kualitas pendidikan dalam homeschooling ternyata sangat tergantung dari kepiawaian orang tua sebagai pendidik. Dalam hal ini, Agus Salim sebagai nara sumber tidak diragukan lagi memiliki pengetahuan yang luas. Selain itu, intelektual Islam ini mampu menguasai berbagai bahasa secara mumpuni. Bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, dan Arab dapat dikuasai sama baiknya dengan dia menguasai bahasa Melayu. Hal itu terlihat dari semua anak-anak Agus Salim fasih berbahasa Inggris. Kecuali anak bungsunya, semuanya juga fasih berbahasa Belanda. Hal ini dimungkinkan karena Agus Salim hanya menggunakan bahasa Belanda dan Inggris dalam komunikasi sehari-hari di rumah. Dalam segi ini Agus Salim telah menanamkan suatu skill, yaitu kemampuan “rasa” berbahasa. Sehingga kemampuan anak-anaknya juga tidak terbatas pada dua bahasa itu, tetapi berkembang ke penguasaan atas bahasa-bahasa asing lainnya.
Akan tetapi, kemampuan anak-anaknya itu memunculkan pula suatu ironi. Mereka pada umumnya tidak aktif berbicara dalam bahasa Minang. Kondisi keluarga telah membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal bahasa ibunya sendiri dengan baik.
Lalu bagaimana dengan perkembangan pendidikan keagamaan? juga tidak diragukan kualitas Agus Salim sebagai kiai yang pernah bertugas sebagai atase Hindia Belanda di Jedah selama lima tahun. Selama itu pula dia secara langsung belajar keagamaan dari ulama terkenal asal Minang yang bermukim di Jedah yaitu Akhmad Khatib. Agus Salim tidak hanya menjadi sumber bertanya anak-anaknya mengenai agama Islam, para pemuda Jong Islamiten Bond pun sangat mengandalkannya.
Mengenai kualitas pendidikan yang diberikan oleh Agus Salim, anak bungsunya, yang pernah mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA, menyatakan bahwa kualitas saudara-saudaranya yang lebih tua tidak dapat ia ungguli. Keunggulan saudara-saudaranya yang lebih tua adalah dalam bidang pengetahuan umum, sejarah, dan sosial.
Mengenai karir, Agus Salim juga tidak memaksakan atau memprogram kepada anak-anaknya untuk menjadi apa setelah dewasa. Dari beberapa karir yang ditekuni anak-anak Agus Salim terbukti ada yang menjadi diplomat, tentara, pegawai perusahaan negara. Semuanya tanpa ijazah formal.
Komentar anak-anaknya mengenai cara-cara pendidikan yang ditempuh ayahnya beragam. Ada yang merasa nyaman, karena tidak perlu bangun pagi-pagi dan secara tergesa-gesa berangkat ke sekolah seperti anak-anak lainnya. Ada juga yang merasa terkucil dari teman-temannya atau dipandang miring orang lain karena tidak sekolah formal. Bahkan apabila anak-anak Agus Salim waktu kecil memegang buku, maka muncul pertanyaan dari yang melihatnya“memangnya bisa baca buku?”. Sementara komentar anak Agus Salim yang lainnya menyatakan bahwa dia tidak pernah menyesal tidak dimasukkan ke sekolah formal oleh ayahnya. Walaupun demikian ia mengaku selalu merasakan sejenis kekosongan apabila teman sebayanya pergi sekolah di pagi hari sementara dia diam di rumah.
Dalam ilmu eksakta anak-anak Agus Salim sedikit atau tidak mendapat pelajaran tersebut, terutama aljabar. Padahal pelajaran aljabar pada saat itu dianggap sebagai dasar untuk berpikir logis. Akan tetapi tanpa pengetahuan aljabar ternyata orang dapat juga berpikir logis.