Open Source dalam pendidikan.

Seperti halnya dunia komputer yang mengenal open source, dunia pendidikan juga perlu di-open source-kan (terutama dengan kecenderungan sekolah-sekolah kita yang makin mahal dan berorientasi bisnis). Saat ini open source dalam dunia komputer berkembang sangat pesat, kita mengenal Linux sebagai alternatif dari Windows, Open Office sebagai alternatif MS Word, Gimp sebagai ganti Photoshop, Blender sebagai versi gratisan 3 DS Max. Semangat pegiat open source diantaranya adalah untuk membebaskan ketergantungan dari perangkat lunak berbayar, dikembangkan oleh dan untuk komunitas. Sekalipun gratisan open source ini tidak berarti murahan.

Nah, open source dalam pendidikan dengan redaksi yang berbeda sebenarnya telah digagas oleh Ivan Illich dalam Deschooling Society pada medio tahun 70-an. Illich meramalkan bahwa pada suatu saat masyarakat tidak memerlukan sekolah, ini karena masyarakat sudah berkembang sedemikian rupa dimana informasi apapun yang dibutuhkan oleh generasi muda tersedia secara luas dan dapat diakses dengan mudah.

Illich secara radikal menganjurkan bahwa sekolah sudah seharusnya dihapuskan. Mengapa? Sekolah telah membuat masyarakat sangat tergantung padanya sehingga percaya bahwa satu-satunya cara untuk menjadi terdidik harus melalui sekolah. Akibatnya orang tua, masyarakat, dan lembaga-lembaga sosial yang lainnya mengabaikan sisi pendidikan yang seharusnya melekat padanya. Sekolah juga menunjukkan sisi kontradiktifnya : semakin tinggi anggaran yang disediakan makin besar sisi destruktifnya. Berapapun dana yang disediakan tidak akan cukup untuk membuat warga negara yang miskin menjadi cukup terdidik. Pendidikan memang perlu dan sudah seharusnya tetapi tidak melulu harus lewat sekolah. Illich menganjurkan pendidikan berbasis masyarakat (community based education).

Apa yang diramalkan oleh Illich sudah menjadi kenyataan saat ini terutama tentang bahwa informasi sudah sedemikian mudahnya untuk diakses oleh siapa saja dan murah. Internet telah memungkinkan segalanya, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Kini kita tak tergantung lagi pada sekolah sebagai sarana penyedia pendidikan, ada open source di luar sana!

Era Baru Pendidikan Telah Tiba

Saya sangat percaya bahwa di masa depan orang akan lebih menghargai kemampuan, dan kapasitas seseorang daripada selembar ijazah yang 'ditenteng' kemana-mana. Dan itu menjadi sangat mungkin bila kita mau menjadi entrepreneur. Perekonomian yang sehat setidaknya harus didukung oleh adanya pengusaha sebanyak 2% dari jumlah penduduk. Rata-rata negara maju mempunyai komposisi seputar 2% pengusaha dari total penduduknya. Kutub ekstrim adalah Singapura dengan 7% sementara kutub ekstrim lainnya yang menyedihkan adalah Indonesia dengan 0,198% dari total penduduk!

Inilah menurut saya peluang kerja yang terbesar! Dan inilah peluang besar untuk memajukan negara. Dan menariknya kita tak butuh sekolah untuk menjadi pengusaha. Ada open source di sana!

Ingin menjadi seorang programmer pun kita tidak perlu sekolah bahkan kuliah. Bukalah situs Microsoft misalnya. Kita akan temukan suatu program gratisan yang akan mengantarkan siapapun untuk menjadi seorang programmer. Sedikit biaya yang sepadan mungkin untuk mendapatkan sertifikasi Microsoft misalnya untuk menjadi seorang Microsoft Certified Developer.

Atau ingin membuat game bagi XBOX 360? Mungkin sekali dan semua itu gratis. Satu-satunya biaya mungkin keanggotaan komunitas XNA Creator. Namun untuk itu kita akan mendapatkan layanan dukungan penuh komunitas yang pada akhirnya memungkinkan kita menjual game untuk XBOX 360 di pasar international.

Ingin menjadi desainer grafis? Kita bisa masuk ke situs Blender yang menyediakan program gratisan animasi atau modeling 3D lengkap dengan dukungan komunitas untuk meningkatkan kemampuan kita.

Itu baru sebagian kecil kemungkinan menarik. Dan inilah sebenarnya inti dari unschooling, memaparkan anak-anak pada realitas yang sedang berkembang di masyarakat. Bayangkan kemungkinan menariknya. Anak-anak bahkan tak perlu menunggu lulus sekolah untuk mulai mewujudkan apa yang menjadi minat dan hasratnya. Di tengah anak-anak sebaya sedang sibuk mempelajari sesuatu yang sangat sedikit kaitannya dengan hidup mereka kelak (selain ijazah bagi yang percaya), anak-anak unschooling membangun portofolio mereka sendiri. Saat anak-anak usia SMA masuk ke perguruan tinggi dengan memilih jurusan yang mereka tidak benar-benar tahu apa isinya, anak-anak unschooling (kalau mereka mau) masuk ke perguruan tinggi dengan tujuan menutup celah ilmu pengetahuan yang belum mereka kuasai atau untuk memperkaya portofolio mereka.

Saya kok yakin akan tiba masanya dimana universitas akan menghargai portofolio seseorang dibanding sekadar ijazah. Bukankah sangat menarik misalnya membayangkan anak-anak unschooling yang akan masuk ke jurusan ilmu komputer sambil membawa karya-karya pengembangan software berbasis bahasa C#? Atau masuk ke jurusan elektro sambil membawa hasil karya robotika yang menunjukkan kemampuannya dalam pemrograman mikrokomputer berbasis bahasa C? Sementara rekan sebaya mereka hanya menunjukkan selembar ijazah?

Atau mengapa tidak terjun langsung dalam bisnis? Dikala teman-teman sebaya menghabiskan waktu untuk kuliah, anak-anak unschooling itu bisa memulai bisnisnya. Atau dengan ketrampilan yang mereka punyai (lewat portofolio mereka), mereka bisa magang pada sebuah perusahaan dengan dibayar atau tanpa dibayar sebagai penukar pembelajaran mereka di perusahaan tersebut.

Kemungkinan akan sangat terbuka luas kalau kita mau berpikir bahwa sekolah bukan satu-satunya penyedia pendidikan dan bukan satu-satunya jalan bagi pondasi karir kita.

Source