Siapakah yang lebih menyesal?

Di depan makam ibunya, seorang kakak perempuan berkata pada adik laki-lakinya, “Kenapa kamu tidak menyelesaikan tesis S2-mu? Kamu telah mengecewakan Ibu.”

Kata-kata itu tidak tertuju padaku, tetapi tak pelak aku ikut pilu mendengarnya. Tidak punya perasaankah si kakak?

Ibunya sudah meninggal. Apa yang bisa dilakukan lagi sekarang meskipun misalnya tesis itu diselesaikan?

Kenyataannya waktu sudah tidak bisa diputar kembali. Ibunya tidak bisa hidup lagi, dan tenggat penyerahan tesis tidak bisa kembali lagi. Kita semua harus melanjutkan hidup. Mengapa mendorong si adik menapaki hidup dengan penyesalan?

Dan seandainya manusia yang sudah meninggal mendapatkan ilham ‘pencerahan’ di alam sana, pasti si ibu menyadari bahwa hidup ini tidak ditentukan selembar ijazah, melainkan amal. Pasti dia sudah menyadari yang sejati diinginkannya untuk anak-anaknya adalah kebahagiaan, dan itu saja yang penting. Pasti dia sudah tidak peduli lagi dengan gengsi, gelar sarjana S2, dan apa pun yang dulu dikejarnya di masa hidup, yang mendorongnya mengatakan,”Ibu kecewa padamu.”

Cinta ibu seharusnya tidak bersyarat. Bangga ibu seharusnya tidak muncul hanya pada saat ijazah diserahkan. Kecewa ibu tidak untuk dibawa mati. Aku turut berduka untuk mereka, dan berjanji tidak membuat kesalahan yang sama.

Source.