Islamic Homeschooling.

Upaya mengembalikan fungsi rumah sebagai wahana tarbiyah Islamiyyah sebagaimana diamalkan Salaful Ummah” - Abu Muhammad Ade Abdurrahman

Homeschooling secara harfiah berarti bersekolah di rumah.

Homeschooling diselenggarakan ketika orangtua berkeberatan atau merasa kesulitan menyekolahkan anaknya, baik karena alasan jarak (karena tinggal di pedalaman, misalnya) ataupun karena alasan-alasan tertentu lainnya.

Mengapa disebut Homeschooling (bersekolah di rumah), bukan Home Learning (belajar di rumah)? Padahal istilah yang kedua sebenarnya lebih tepat. Barangkali ini adalah bias budaya. Kita maklum, saat ini bersekolah merupakan tradisi yang sudah sedemikian merata. Hingga kemudian dianggap suatu kelaziman, atau bahkan keharusan bagi anak-anak.

Karena itu, ketika seseorang mencoba untuk tidak menyekolahkan anaknya maka dia khawatir akan dianggap telah melakukan ‘pelanggaran terhadap hak asasi anak’.

Untuk itulah, barangkali, para orangtua yang menyelenggarakan pembelajaran anak-anak mereka di rumah seakan hendak ‘membela diri’, bahwa merekapun sebenarnya menyekolahkan anak-anak mereka juga. Hanya berbeda lingkungan dan metodenya. Itulah, mengapa kemudian disebut Homeschooling. Untungnya, dalam hal ini pemerintah tidak salah kaprah sehingga menetapkan kebijakan : wajib belajar. Dan tidak menetapkan wajib bersekolah.

Substansi dari bersekolah (schooling) sebenarnya adalah belajar (learning). Belajar dapat dilakukan di manapun. Bersekolah hanyalah salah satu cara untuk belajar. Jadi, para orangtua tak perlu merasa bersalah atau rendah diri dengan menjalankan Homeschooling. Juga, mereka yang menyekolahkan anaknya ke sekolah massal pun jangan dulu berbangga hati.

Sebab, kalau kita mau lebih menukik pada kedalaman realitas, kita patut mempertanyakan : Apakah benar bersekolah itu otomatis sama dengan belajar? Jawabannya: Belum tentu!

Mari kita pelajari faktanya! Saat ini, berapa puluh juta lulusan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi? Di sisi lain, berapa puluh juta pula yang berstatus pengangguran? Padahal, betapa besar karunia Allah berupa kekayaan alam di negeri ini. Apa yang mereka pelajari di sekolah? Inilah salah satu fakta bahwa belajar di sekolah belum tentu efektif. Dengan kata lain bersekolah belum tentu berarti belajar.

Dalam banyak kasus, bersekolah bahkan menjadi penyebab kegagalan hidup seorang anak. Tidak sedikit anak yang terjerumus kepada hal-hal negatif yang menghancurkan hidup mereka, justeru mereka dapatkan lewat pergaulan di sekolah, baik dari (oknum) guru-guru mereka atau dari (oknum) kawan-kawan mereka.

Tanpa perlu penelitian mendalam, banyak yang menilai bahwa metode pembelajaran dan sistem evaluasi yang sekarang berjalan pun cenderung menciptakan mental-block (hambatan mental) yang menghambat laju kreatifitas anak, padahal justru hal itu amat dibutuhkan di era informasi global saat ini.

Sekiranya otak anak terus menerus hanya dijadikan keranjang informasi iptek (itupun hanya sebatas untuk keperluan menyelesaikan soal-soal ujian). Maka dapat dibayangkan, betapa akan kesusahannya dia mengejar laju pertambahan informasi iptek yang terus berkembang dalam hitungan jam, atau bahkan menit.

Mengapa tidak terpikirkan oleh kita - para orangtua - untuk melatih dan mengasah otak mereka yang ajaib itu agar mampu memola ulang informasi tersebut, sehingga akhirnya mereka mampu menciptakan informasi baru?

Merangsang anak untuk bertanya ‘Apa?’ , ‘Mengapa?’ dan ‘Bagaimana?’ adalah hal yang penting sekali. Keingintahuan adalah tabiat dasar mereka.

Namun di samping itu, kita pun perlu merangsang anak untuk bertanya : ‘Mengapa tidak?’ dan ‘Bagaimana jika?’. Agar mereka menjadi insan-insan kreatif. Jangan keliru, kreatifitas pun sebenarnya adalah bakat alamiah setiap anak, jika saja para orangtua tidak malas mengasahnya. Atau, malah menyia-siakannya.

Sayang sekali, keingintahuan (curiosity) dan kreatifitas (creativity) - dua mutiara terpendam dalam jiwa anak - saat ini justeru banyak ditelantarkan di sekolah massal (formal). Wajar kalau Robert T. Kiyosaki berteriak lantang : “If You Want To Be Rich And Happy, Don’t Go To School!”.

Ada alasan lain : “Keunikan”. Anak itu unik! Cara belajar mereka juga unik, seunik sidik jari mereka; yakni masing-masing anak secara individual memiliki pembawaan dan cara yang khas dalam menyerap serta menggali pengetahuan. Jadi, bagaimana mungkin anak-anak dapat menemukan cara belajar mereka yang unik, jika mereka dituntut harus “berseragam” di sekolah?

Berdasarkan penelitian bahwa seseorang menjadi jenius adalah pada saat dia mampu menemukan sendiri cara belajarnya yang unik dan orisinil. Seperti dikatakan Enstein: “Saya tidak memiliki bakat-bakat khusus, tetapi hanya memiliki rasa keingintahuan yang besar sekali.”.

Keingintahuan yang sangat besar - dilandasi keikhlasan - jugalah nampaknya yang membuat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mampu bersabar duduk berjam-jam lamanya di sudut sepi perpustakaan. Beliau lakukan itu berpuluh-puluh tahun lamanya hingga akhirnya menjadi jenius di bidang hadits dan ilmu-ilmu syar’i lainnya. Menjadi mujaddid abad ini sebagaimana diakui ulama besar yang sezaman dengan beliau, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah.

Namun, agar tidak memunculkan kontroversi yang sia-sia, perlu ditegaskan di sini bahwa:
  • Menyelenggarakan Homeschooling tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat profesi keguruan.
  • Menyelenggarakan Homeschooling tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat peran sekolah formal yang sudah ada dan banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat.
  • Kami pun tidak mengklaim bahwa Homeschooling adalah satu-satunya cara untuk mendidik Anak.

Tetapi yang diyakini :
  • Homeschooling adalah: Sarana paling efektif dalam upaya membangun hubungan baik dan hangat dengan Anak. Mendampinginya saat ia menjalani hari-harinya untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa.
  • Homeschooling adalah: Alternatif terbaik dalam mendidik Anak, memelihara fithrahnya serta mengembangkan potensinya yang unik. Karena berpijak pada orisinalitas dan individualitasnya sebagai hamba Allah.
  •  Homeschooling adalah: Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk menunaikan secara optimal peran dan tugas keorangtuaan yang nanti akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan Allah.
  • Homeschooling adalah: Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk mengembangkan potensi orangtua dan anak dalam hal penguasaan ilmu syar’i, memperbaiki akhlaq diri, membina keluarga sakinah, mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisai, bahkan mengembangkan potensi ekonomi.

Source.