Meluruskan pemahaman akan Homeschooling.

Ditulis oleh Mustikadh.

Membahas homeschooling sebenarnya bukan masalah mendukung atau tidak mendukung, apalagi masyarakat masih banyak yang belum mengetahui tentang apa dan bagaimana homeschooling, sehingga menyampaikan informasi yang benar merupakan tanggung jawab moral kita semua sehingga tidak terjadi kesalahan dan distorsi pemahaman.

Juga sudah seyogyanya menggali informasi tentang hal apapun kepada yang mengetahui, termasuk informasi homeschooling. Karena jika menggali informasi kepada yang kurang mengetahui ibarat menanyakan bentuk gajah kepada orang buta yang hanya memegang ekor gajah, sehingga informasi yang didapat hanya setengah-setengah dan tidak jelas.

Informasi-informasi yang ingin kami luruskan diantaranya:

”Mendatangkan guru ke rumah berarti sudah menyimpang dari konsep homeschooling yang sebenarnya.”

Hal ini tidak benar. Siapapun yang membimbing siswa homeschooler –apakah itu orangtua, guru privat, ataupun guru-guru yang ahli dalam bidang masing-masing- hanyalah bertindak sebagai fasilitator dalam proses belajar anak. Pada intinya homeschooling adalah proses belajar yang menjadikan anak sebagai subyek belajar. Maka ketika suatu saat anak ingin belajar mengurus rumah, tak ada salahnya ia belajar kepada pembantu rumah tangga, karena sesungguhnya semua orang bisa menjadi guru sesuai kemampuan dan keahlian masing-masing.

Termasuk ketika anak ingin belajar musik kemudian orangtua mendatangkan guru musik ke rumah, hal itu juga bukanlah penyimpangan dari konsep homeschooling karena anaklah yang menginginkan, dimana dia berlaku sebagai subyek bagi pembelajarannya sendiri. Memang hal ini akan menyebabkan biaya tinggi, tetapi jika orangtua mampu secara finansial, tentunya tidak masalah. Sedangkan bagi keluarga homeschool yang terbatas secara finansial tentunya akan menggunakan cara yang lain. Justru inilah yang menarik dalam homeschooling karena semuanya bisa disesuaikan dengan kondisi anak dan keluarga, termasuk kondisi keuangan.

Pun mendatangkan guru privat bukanlah penyimpangan konsep homeschooling. Hanya saja -seperti yang saya sampaikan saat wawancara- guru homeschooling haruslah guru yang mempunyai idealisme tinggi tentang pendidikan anak. Guru homeschooling bukanlah ”guru” seperti dalam pengertian guru sekolah yang berdiri di depan kelas, berbicara a sampai z sementara murid duduk diam mendengarkan, diberi tugas dalam bentuk lembar kerja dan mengerjakan kemudian diberi nilai. Guru homeschool berbeda dengan guru sekolah pada umumnya, karena guru homeschool adalah fasilitator bagi pembelajaran siswa homeschool. Jika siswa homeschool ingin mempelajari transportasi misalnya, maka guru akan mendampingi siswa untuk mendapatkan ilmu dan informasi sesuai dengan kebutuhan siswa. Siswa tidak pasif misalnya hanya dengan mendengarkan guru berbicara ”transportasi adalah bla...bla..., terdiri dari bla...bla...”, tidaklah demikian. Siswalah yang menggali, mencari dan memahami dengan mengembangkan rasa ingin tahunya sendiri. Sehingga yang terjadi adalah pembelajaran bottom up, bukan top down seperti pembelajaran dalam kelas pada umumnya.

Guru privat homeschool juga berbeda dengan guru privat les bagi siswa yang bersekolah di sekolah formal. Karena les privat biasanya bertujuan untuk memperbaiki nilai pelajaran sekolah, yang biasanya siswa mau mengikutinya karena ia HARUS melakukannya dan bukan karena ia MENIKMATI. Ini juga sebenarnya yang saya maksud dengan ”les privat bukanlah homeschooling”. Walaupun orangtua bermaksud melaksanakan semi homeschooling, tetapi jika bentuknya adalah pelajaran tambahan yang hanya bertujuan untuk mengejar nilai, maka hal itu bukanlah termasuk homeschooling.

Justru biasanya homeschooling akan gagal jika orangtua ataupun guru homeschool sudah mulai bersikap seperti guru sekolah pada umumnya.

”Homeschooling merupakan konsep tentang sistem belajar sendiri. Dimana anak juga dituntut untuk belajar membaca dari text book yang tersedia, juga ada latihan yang harus dia kerjakan, ada juga tes yang harus dia selesaikan kalau mau naik kelas. Kegiataannya sama seperti di sekolah-sekolah, hanya saja tempat belajarnya di rumah dan gurunya adalah orangtua si anak sendiri.”

Pernyataan ini merupakan distrosi dari pemahaman homeschooling yang sebenarnya. Homeschooling merupakan kegiatan belajar mandiri yang sangat fleksibel, tidak terikat pada tempat, sistem, buku, lembar kerja, pelaku maupun kondisi tertentu. Sama sekali tidak ada kondisi yang ”ideal” dan ”benar” dalam melaksanakan homeschooling. Pemahaman seperti diatas adalah pengertian bahwa homeschool tidak lebih dari ”memindahkan sekolah ke rumah”, padahal sebenarnya tidaklah demikian.

Pada prakteknya, kegiatan homeschooling sebenarnya tergantung pada orientasinya. Pertama, jika siswa ingin mendapatkan ijazah dari institusi tertentu (mis: Diknas), maka bahan-bahan yang akan diujikan ”bisa” dimasukkan dalam kegiatan belajar anak. Tetapi hal tersebut bukanlah yang utama karena yang terpenting dalam proses belajar tetaplah menanamkan mental belajar sehingga anak memperkaya khasanah keilmuannya dengan mandiri dan bukan tergantung pada buku teks maupun lembar kerja. Buku dan lembar kerja hanyalah sarana pendukung saja, itupun bila anak bersedia.

Yang kedua, jika siswa tidak berorientasi untuk mendapatkan ijasah, maka sama sekali tidak ada rumus yang baku dalam menerapkan homeschooling karena setiap detik anak bisa belajar apa saja, dari mana saja dan dari siapa saja. Siswa bisa belajar apapun mulai berhitung sampai belajar sejarah dunia tanpa harus terikat pada kurikulum tertentu. Siswa mempelajarinya karena ia menikmati proses belajar itu dan bukan karena ia ingin mendapat nilai atau diakui secara formal oleh suatu institusi.

Kedua model homeschooling ini diterapkan oleh banyak keluarga di dunia, termasuk keluarga Indonesia. Tidak ada penyimpangan penerapan konsep homeschooling oleh keluarga Indonesia sepanjang mereka masih menghargai anak sebagai subyek pembelajaran.

”Homeschooling yang menggunakan kurikulum internasional biayanya mahal.”

Sebenarnya ada banyak kurikulum internasional yang ditawarkan. Mulai yang murah sampai yang mahal. Yang mahal biasanya adalah kurikulum yang sudah lengkap mulai silabus, buku, ujian semester sampai ujian kelulusan. Kurikulum seperti inilah yang dipakai oleh komunitas semacam Morning Star Academy yang biaya registrasi dan biaya bulanannya cukup mahal. Tetapi ada banyak kurikulum lain yang menawarkan biaya lebih murah, apalagi jika orangtua kreatif dan melakukan mix and match beberapa bagian yang sesuai dengan anak, maka bisa diperoleh kurikulum yang sangat hemat. Dengan kurikulum ”buatan sendiri” ini, siswa bisa mengikuti ujian yang dilaksanakan institusi internasional yang hanya menarik biaya bagi siswa yang akan mengikuti ujian saja (itupun dengan biaya yang murah), dimana persiapan materi ujian bisa dilakukan kapan saja dengan mengakses silabus dan bahan-bahan yang bisa diperoleh dengan harga murah. Memang metode ini hanya bisa didapat melalui internet, tetapi mengingat warung internet sudah bukan hal yang sulit ditemui di kota malang –dengan biaya sewa yang cukup murah pula (bahkan gratis di perpustakaan kota)- maka cara seperti ini bisa dikatakan bukan lagi model pendidikan yang mahal.

”...orangtua harus bisa menulis, membaca dan memiliki wawasan yang luas. Ini penting agar orangtua bisa menjalankan fungsi sebagai pendidik yang baik, dan bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh anaknya. Apalagi di era teknologi informasi saat ini, jangan sampai orangtua ketinggalan pengetahuan. Kalau orangtua tidak siap, jangan paksakan anak untuk homeschooling. Jangan sekedar mengikuti trend saja..”

Kebanyakan orangtua merasa kuatir tidak bisa memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya (at least, seperti sekolah – menurut mereka). Mereka merasa tidak cukup sabar, tidak cukup ilmu, tidak cukup uang, tidak cukup baik, dan banyak ketidakcukupan lain.

Sebenarnya adakah orang yang benar-benar cukup dan benar-benar sempurna di dunia ini? Bukankah orangtua, anak-anak, juga guru semuanya adalah manusia biasa yang sudah pasti penuh ketidaksempurnaan? Homeschooling bukan berarti mencetak manusia-manusia yang sempurna dan dibimbing oleh manusia-manusia yang sempurna pula. Pun sekolah tidak berarti para guru adalah orang-orang yang sempurna yang ’sudah pasti’ bisa sempurna pula mendidik anak-anak kita. Justru dengan berbagai kekurangan dan ketidakcukupan itu, dalam homeschooling kita bisa saling melengkapi satu sama lain, sekaligus memberikan pemahaman kepada anak, ”Saya bukan manusia sempurna, kamu juga, but it’s OK. Kita belajar untuk menjadi orang yang lebih baik, bukan untuk menjadi orang yang sempurna!” Hal ini perlu ditanamkan karena pada kenyataannya sistem yang dipakai di sekolah-sekolah mendorong anak untuk menjadi perfeksionis. Adakah siswa yang tidak ingin selalu mendapat nilai bagus di semua mata pelajaran? Hampir pasti semua siswa ingin mendapatkannya. Karena dari situlah predikat “siswa berprestasi” diukur. Sebenarnya realistiskah metode seperti itu? Realistiskah kita -orangtua, guru, sekolah- mengharapkan anak-anak selalu menjawab dengan benar dan mendapat nilai tinggi sementara kita sendiri –para orang dewasa- menyadari bahwa kitapun tidak mungkin selalu benar dalam semua hal? Sikap mental seperti ini menyebabkan anak-anak merasa gagal ketika membuat kesalahan. Padahal sebenarnya justru dari kesalahanlah mereka belajar. Kesalahan lebih membuka mata mereka daripada jawaban benar yang selalu diharapkan orang dewasa. Seringkali saat anak-anak menjawab dengan benar, mereka sebenarnya hanya menirukan apa yang mereka dengar. Nah, apakah ”kesalahan” yang berharga ini mendapatkan penghargaan, apresiasi ataupun nilai di sekolah? Sama sekali tidak

Pada saat orangtua tidak bisa menjawab pertanyaan anak, disitulah saat yang tepat untuk mengajarkan kepada anak bagaimana mencari jawaban atas keingintahuan mereka. Pada kenyataannya kita manusia tidak ada yang menguasai semua ilmu. Dalam homeschooling, sangat TIDAK DIHARAPKAN jika orangtua atau guru homeschool menjadi ”kamus berjalan” yang harus menjawab semua hal yang ditanyakan oleh anak-anak. Justru inti dari homeschooling adalah mengajari anak-anak untuk menjadi pembelajar mandiri terlepas dari seberapa banyak informasi yang dikuasai oleh orangtua/gurunya maupun seberapa tinggi pendidikannya.

Kenyataan berbicara, selama sekolah formal bertahun-tahun kita tidak pernah diajarkan bagaimana belajar. Sebaliknya, poin inilah yang ditekankan dalam homeschooling.

Tidak ada situasi yang sempurna untuk memulai homeschooling. Asalkan orangtua menyayangi anak dan bersedia bersama-sama belajar dengan anak, hal itu sudah lebih dari cukup untuk memulai homeschooling.

Menurut pengamatan saya, tidak ada orangtua yang menerapkan homeschooling hanya karena mengikuti trend. Memang setiap keluarga memiliki alasan yang berbeda-beda ketika memutuskan untuk homeschooling, tetapi semuanya mempunyai misi yang sama, yaitu menghargai dan mengembangkan potensi belajar anak.

”Di sisi lain, orangtua jangan hanya ikut-ikutan dalam mengajak anaknya untuk homeschooling. Apalagi dengan alasan bahwa banyak anak-anak orang lain yang lebih sukses melalui homeschooling, itu harus dilihat latar belakang keluarganya. Jangan dipaksakan untuk sama dengan kemampuan dari keluarga sendiri.”

Sebenarnya orang-orang sukses di dunia ini, apakah ia bersekolah formal maupun homeschooling, keduanya mempunyai persamaan, yaitu potensinya tergali dan berkembang secara maksimal, bagaimanapun kemampuan keluarganya. Orangtua Alexander Graham Bell bukanlah ilmuwan, tetapi mereka memberikan lingkungan yang baik bagi perkembangan potensi putra mereka. Dan hal inilah yang seharusnya dilakukan oleh keluarga homeschooling.

Walaupun begitu, menurut saya bukan merupakan masalah jika kita mengaca dan mengacu pada orang-orang yang sukses melalui homeschooling untuk kemudian kita sesuaikan dengan kondisi anak dan keluarga kita.

Lagipula banyak diantara orangtua yang memasukkan anaknya ke sekolah formal karena ”latah” dan ikut-ikutan saja tanpa mengetahui konsep yang jelas dari sekolah tersebut. Ketika ditanya mengapa ia memasukkan anaknya ke sekolah tersebut, jawabnya adalah ”karena sekolah favorit” tanpa peduli apakah anaknya cocok atau tidak bersekolah di tempat tersebut. Bukankah yang seperti ini lebih bisa disebut ”hanya ikut-ikutan”?

”Jangan terapkan homeschooling hanya sekedar memenuhi prestise orangtua, trend apalagi terbujuk bisnis semata. Boro-boro akan akan menjadikan mereka sehebat Albert Einstein, anak-anak itu justru akan menjadi kerdil.... Dan hancur....”

Di Indonesia homeschooling masih dipersepsi secara miring. Keluarga yang menerapkan homeschooling seringkali harus memasang muka tebal dan siap mental menghadapi masyarakat yang kurang mengetahui tentang homeschooling. Jangankan untuk prestise, untuk meluruskan persepsi miring tersebut dibutuhkan perjuangan dan ketetapan hati yang luar biasa dari keluarga homeschooling. Alih-alih hanya mengikuti trend, untuk memutuskan homeschooling sendiri keluarga seringkali harus mempertimbangkan masak-masak berbagai hal.

Diantara banyak keluarga homeschool, hanya sedikit yang menggunakan kurikulum mahal (jika itu dianggap sebagai prestise, maka sangat tidak mewakili komunitas homeschooling) dan tidak ada keluarga yang memutuskan homeschool hanya karena “ikut-ikutan trend” tanpa konsep dan pertimbangan, apalagi karena “bisnis” (kenyataannya tidak banyak keluarga yang membisniskan konsep homeschoolingnya, yang banyak adalah sharing tanpa tendensi financial apapun).

Tentang pendidikan yang menjadikan anak-anak kerdil dan hancur, bukankah bukan rahasia lagi bahwa sekolah formal telah “sukses” melahirkan orang-orang yang gagal? Anak-anak sekolah formal seringkali menilai diri mereka dari nilai yang mereka dapat. Jika mendapat nilai bagus mereka merasa ”pandai” dan ketika mendapat nilai buruk mereka merasa ”bodoh”. Persepsi ini terus terbawa terutama pada siswa-siswa yang lebih sering mendapat nilai yang kurang bagus. Jika kita lihat di masyarakat, berapa banyak orang-orang yang dianggap gagal di sekolah (karena nilainya buruk atau tidak lulus) benar-benar gagal dalam kehidupan nyata? Hal ini terjadi karena sekolah tidak menghargai kegagalan dan siswa yang mendapat nilai buruk dianggap siswa yang gagal. Bukankah hal seperti ini benar-benar membentuk manusia-manusia kerdil dan hancur? Apakah kita harus mengorbankan masa depan bangsa ini dengan sistem seperti ini? Sistem yang hanya menghargai siswa sebagai manusia hanya jika mereka sesuai dengan standar yang diharapkan oleh orang dewasa (baca: orangtua, guru, sekolah, dll)?

Source